REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Fikar Hajar mengatakan pemberian remisi istimewa proklamasi kemerdekaan kepada koruptur dan teroris sangatlah tidak produktif, salah kaprah serta bertentangan dengan arti dan tujuan kemerdekaan.
"Perbuatan mereka telah bertentangan dengan tujuan kemerdekaan itu sendiri. Karena itu kedua terpidana tersebut jangan diberi remisi apapun alasannya," tegas Abdul kepada Republika Online, Selasa (11/8).
Abdul menjelaskan hari kemerdekaan Republik Indonesia adalah hari di mana setiap rakyat Indonesia bebas merdeka hidup dengan segala hak dan kewajibannya sebagaimana tertuang dalam konstitusi.
Abul berkata, salahsatu tujuan kemerdekaan adalah menciptakan keamanan, kedamaian serta kesejahteraan hidup rakyat. Sehingga, sambung Abdul, jika dalam perspektif tersebut maka para terpidana kasus korupsi dan terorisme sangat berlawanan dengan tujuan kemerdekaan RI.
Para koruptor, lanjut Abdul, telah mengeruk uang negara yang diperuntukan kesejahtetaan rakyat. "Koruptor langsung atau tidak telah memiskinkan rakyat, telah membuat harga harga naik sehingga tidak terjangkau rakyat miskin," katanya menegaskan.
Demikian pula dengan para teroris, menurut Abdul, para teroris justru menciptakan ketakutan dan ketidakamanan untuk membuat kemerdekaan sendiri. "Kalau teroris itu memperjuangkan ideologi politiknya mestinya lewat partai politik," kata dia.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) dari Kementerian Hukum dan HAM memberikan pengurangan masa hukuman atau remisi istimewa kepada 118 ribu narapidana pada hari Dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan. Termasuk diantaranya napi teroris dan koruptor, kecuali yang mendapat hukuman mati, hukuman seumur hidup dan yang melarikan diri.
Hal tersebut berdasarkan Keppres no.120 tahun 1955 tentang Pengurangan Pidana Istimewa pada Hari Dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan. Dalam Keppres tersebut, remisi istimewa sudah diberikan sejak tahun 1955 dan dilanjutkan pada tahun 1965, 1975 dan seterusnya.