Jumat 07 Aug 2015 15:57 WIB

UU Contempt of Court Bisa Jadi Solusi Perseteruan KY Vs Hakim Sarpin

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi memberikan ketergangan kepada wartawan usai diperiksa di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (30/3).
Foto: Antara/Pevita Price
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi memberikan ketergangan kepada wartawan usai diperiksa di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (30/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pertentangan pendapat antara Komisi Yudisial dengan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin menjadi perhatian kalangan advokat. Penerapan UU Contempt of Court atau UU Penghinaan Pengadilan.

“Penempatan pasal-pasal Contempt of Court itu tidak dimasukan dalam KUHP melaikan harus dibuat UU tersendiri. Kasus yang terjadi antara KY dan Hakim Sarpin ini seharusnya bisa diselesaikan dengan UU Contempt Of Court jika kita sudah memilikinya tidak perlu dengan KUHP,” ujar mantan Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Prof Otto Hasibuan, dalam rilisnya, Jumat (7/8).

Ia menjelaskan, UU Contempt of Court tersebut dapat menyelesaikan persoalan yang menimpa hakim dengan lembaga negara lain maupun dengan masyarakat umum. Pasalnya, dalam UU tersebut akan diatur bagaimana menjaga kewibawaan hakim dan pengadilan.

Di negara maju seperti Amerika dan Hongkong, ujarnya, kewibawaan pengadilan sangat dijaga. Maka, mereka mempunyai UU Contempt of Court.

“Nah yang terjadi di Indonesia kan sebaliknya, kewibaan pengadilan tidak bisa dijaga, misalnya orang dengan enaknya teriak-teriak di ruangan sidang dan sebagainya,” tegas Otto.

Otto menjelaskan dalam UU Contempt of Court tersebut juga harus memuat mengenai sanksi yang tegas kepada setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap pengadilan.

Pengajar Pascasarjana Universitas Gajah Mada ini menegaskan, penyelesaian masalah hakim Sarpin dan KY yang menggunakan KUHP saat ini menimbulkan berbagai komentar di masyarakat.

Sebagian besar menyatakan bahwa KY telah dikriminalisasi oleh kepolisian. Akan tetapi, yang dilakukan oleh kepolisian tersebut berdasarkan undang-undang juga dibenarkan karena dua komisioner KY dianggap melakukan pencemaran nama baik.

“Ini jelas tidak bisa kita biarkan berlarut-larut sehingga membuat opini yang berkembang di masyarakat manjadi melebar kemana-mana dan keluar dari konteks hukum yang ada di Indonesia,” kata Otto.

Otto mengakui, memang ada kekhawatiran dari masyarakat jika UU Contempt of Court ini diberlakukan bakal membuat hakim bisa semena-mena dalam memutuskan perkara yang ditanganinya. Untuk itu dalam membuat UU tersebut harus dibuat secara matang dan melibatkan semua pihak penegak hukum dan stakeholder lainnya.

Meski demikian UU ini harus tidak bertentangan dengan UU yang telah ada seperti UU Advokat dan sanksi yang diberikan pun tidak mengedepankan sanksi pidana karena sanksi pidana adalah merupakan ultimum remedium (upaya terakhir).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement