Jumat 07 Aug 2015 09:48 WIB

Sejarawan: Pasal Penghinaan Presiden Warisan Kolonial

Rep: C07/ Red: Bayu Hermawan
Sejarawan JJ Rizal
Foto: Facebook/JJ Rizal
Sejarawan JJ Rizal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan JJ Rizal mengatakan pasal penghinaan terhadap presiden merupakan warisan kolonial Belanda sekaligus mencerminkan kebudayaan feodal keraton Jawa.

"Pasal tersebut warisan yang berkolusi membunuh akal sehat dengan membungkam rakyat," ujarnya kepada ROL, Kamis (6/8).

Ironisnya, sambung dia, warisan yang dimusuhi oleh para pendiri bangsa justru diterapkan dan tumbuh dengan sehat, segar dan bugar pada rezim orde baru.

Perlu diketahui, KUHP yang selama ini digunakan pemerintah Republik Indonesia merupakan warisan era kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732.

WvS Belanda tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 RI tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.

Kala itu pasal penghinaan digunakan untuk melindungi pemerintah kolonial Hindia Belanda dari kritikan atau serangan para pejuang kemerdekaan.

Pada rezim orde baru sampai reformasi, pasal tersebut kerap digunakan pemerintah untuk membungkam para aktivis atau lawan politik yang memberikan kritikan tajam.

Salah seorang aktivis yang sempat terjerat pasal tersebut adalah Sri Bintang Pamungkas yang divonis 10 bulan penjara karena terlibat demo anti-Soeharto di Jerman, April 1995.

Kemudian, Nanang dan Mundzakir yang didakwa satu tahun penjara karena menginjak foto Megawati saat berdemo di depan Istana Negara pada 2003, serta I Wayan Suardana yang dihukum enam bulan penjara karena membakar foto Susilo Bambang Yudhoyono dalam aksi unjuk rasa menolak kenaikan bahan bakar minyak tahun 2005.

Penjeratan pasal penghinaan presiden pun berhenti saat Mahkamah Konstitusi (MK)  pada (6/12/2006) memutuskan delik atau tindak pidana penghinaan terhadap kepala negara yaitu Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pemerintah Joko Widodo menginginkan pasal penghinaan terhadap presiden masuk ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) setelah sebelumnya pasal penghinaan terhadap presiden telah dicabut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam.

Presiden Joko Widodo mengaku pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali semata untuk melindungi para pengkritiknya dari pasal-pasal karet. Bukan sebagai bentuk antikritik.

Jokowi, secara peribadi, mengaku tak memerlukan pasal yang sudah digugurkan MK itu. Lagi pula ia sudah terbiasa dihina sejak menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menjabat Kepala Negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement