REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengusulkan pasal penghinaan terhadap presiden masuk ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal, pada 2006 silam, pasal tersebut sudah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Djunaedi Mahesa mengatakan, usulan tersebut mesti ditanggapi secara hati-hati oleh parlemen.
Betapapun nantinya draf ini akan diterima ataukah ditolak. Hanya saja, lanjut politisi Partai Gerindra itu, usulan ini dinilai kurang sensitif terhadap pertimbangan MK.
"Dasar (penolakan) MK itu kan, (pasal penghinaan terhadap presiden) melanggar Undang-Undang Dasar. Berarti, pengusulan ini kan tidak layak," ujar Desmond Djunaedi Mahesa, Kamis (6/8).
Maka dari itu, Desmond menegaskan, selama usulan dari pemerintah itu serupa dengan yang pernah dibatalkan MK, maka sulit akan diterima parlemen. Setidaknya, Partai Gerindra akan lugas menolaknya.
"Kalau di kemudian hari, ini (pasal penghinaan terhadap presiden) dipakai seperti rezim Soeharto, kan lain soal. Maka kita merumuskan delik penghinaannya dalam hal ini harus hati-hati," tegasnya.
Desmon menyebut, publik sendiri tak perlu reaktif dalam mendengar usulan pemerintah. Sebab, publik masih bisa mengajukan gugatan ke MK bila dirasa ada undang-undang yang mengekang kebebasan berekspresi.
Sampai saat ini, kata Desmond, parlemen masih wait and see terkait jalan tengah yang coba dilakukan pemerintah, yang mengusulkan adanya aturan agar wibawa presiden tetap terjaga. Betapapun pemerintah mungkin saja mengajukan usulan aturan baru di luar revisi KUHP.
"Kita lihat nanti pembahasannya," ujarnya.