Rabu 05 Aug 2015 22:28 WIB

Mantan Ketua MK: Pasal Penghinaan Presiden Hambat Demokrasi

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Malik berjabat tangan usai melakukan rapat koordinasi persiapan Pilkada di kantor KPU, Jakarta, Jumat (5/6).
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Malik berjabat tangan usai melakukan rapat koordinasi persiapan Pilkada di kantor KPU, Jakarta, Jumat (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie menilai pasal penghinaan presiden tidak dibutuhkan lagi karena dalam praktiknya menghambat demokrasi dan dapat disalahgunakan oleh penegak hukum.

"Dalam praktiknya, penegak hukum lebih agresif dari presidennya. Presiden tidak merasa terhina, polisinya yang aktif menangkapi orang," katanya ketika ditemui di Gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (5/8).

Jimly juga menceritakan bahwa pasal penghinaan dulu sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada 2006 melalui perdebatan panjang yang melibatkan banyak ahli. Ia mengatakan MK sudah membuat keputusan bahwa pasal Penghinaan Presiden sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan peradaban demokrasi Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Keputusan untuk tidak memberlakukan pasal tersebut menuai pujian dari Dewan HAM PBB lewat Human Right Report karena dianggap sangat maju.

"Karena beberapa negara di Eropa masih menggunakan pasal tersebut, seperti di Belgia dan Belanda. Tapi sudah satu abad pasal tersebut tidak pernah dipakai karena memang tidak relevan lagi," jelasnya.

Jika ditelusuri sejarahnya, pasal penghinaan simbol negara tersebut terkesan masih sangat feodal karena dahulu raja dan ratu dianggap sebagai simbol negara, dan teori tentang simbol negara semacam itu merupakan teori lama.

Di Indonesia, simbol negara berarti lambang negara seperti diatur dalam UUD 1945 pasal 36A yang menyebutkan bahwa lambang negara ialah Garuda Pancasila, dan bukan presiden.

"Banyak orang salah mengerti bahwa dengan dibatalkannya pasal itu berarti Presiden boleh dihina, itu salah. Penghinaan itu tindak pidana sehingga tidak diperbolehkan," ujar pria yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).

Pemerintah mengajukan 786 Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR RI untuk disetujui menjadi UU KUHP. Dari ratusan pasal yang diajukan itu, pemerintah menyelipkan satu Pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal tersebut tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi: "setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".

Jimly mengatakan bahwa dirinya pada prinsipnya sudah tidak bisa lagi ikut campur urusan draf RUU KUHP karena itu sudah termasuk dalam ranah politik hukum sehingga harus diserahkan kepada pemerintah dan DPR.

Namun dia menyayangkan bahwa sesudah pasal itu dinyatakan tidak berlaku, ada kelompok pakar ilmu hukum yang memasukkannya di dalam draf RUU KUHP.

"Draf sudah disusun sejak tahun yang lalu. Jadi jangan mempersalahkan pemerintah yang sekarang seakan-akan yang mengajukan perubahan ini," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement