REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan pemerintah dalam draf revisi UU KUHP sifatnya berbeda dengan yang dibatalkan oleh MK, yakni dari delik umum menjadi delik aduan.
"Jadi kalau dulu, sifatnya delik umum. Kalau ada orang dinilai polisi menghina presiden maka ditangkap. Kalau sekarang itu menjadi delik aduan. Ini artinya kalau tidak ada yang mengadukan maka enggak diproses dan enggak masalah," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Rabu (5/8).
Ia mengaku heran dengan pihak-pihak yang mempermasalahkan atau tidak sepakat diusulkannya kembali pasal penghinaan terhadap presiden itu.
"Ini perlu saya jelaskan, pasal itu sudah ada sebelumnya. Kok sekarang diributkan. Kan zaman Pak Presiden SBY rencana UU KUHP itu sudah dimasukkan atau diusulkan juga, sudah dibahas di DPR. Kok sekarang jadi diributin," kata dia.
Menurut dia, ayat dalam pasal penghinaan terhadap presiden telah mengakomodasi apa yang diajukan oleh Mahkamah Konstitusi.
"Ayat itu sudah mengakomodasi juga prinsip kesamaan di mata hukum. Intinya sekarang berbeda sifatnya," kata dia.
Dikatakan, sangat tidak adil dan diskriminatif, jika seorang presiden dikecualikan dengan pasal penghinaan.
Sebelumnya, pemerintah saat ini mengajukan 786 Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR RI untuk disetujui menjadi UU KUHP.
Dari ratusan pasal yang diajukan itu, pemerintah menyelipkan satu pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut sebenarnya sudah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2006.