Rabu 05 Aug 2015 15:23 WIB

Hidupkan Pasal Penghinaan, Jokowi Dibandingkan SBY

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Esthi Maharani
Presiden Jokowi.
Foto: Antara
Presiden Jokowi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo dianggap tidak siap kritik menyusul rencananya memasukkan kembali pasal penghinaan Presiden dalam rancangan KUHP. Padahal, pasal tersebut telah dicabut pada rezim pemerintahan Presiden SBY sehingga cukup aneh jika harus dihidupkan kembali.

“Yang khawatir terhadap pasal itu adalah mereka yang tidak siap kritikan. Dengan kata lain Presiden kita ini takut dikritik,” ujar politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Daulay kepada ROL, Rabu (5/8).

Menurutnya jika memang Presiden Jokowi terganggu dengan penghinaan (menjurus ke arah fitnah) yang ditujukan padanya, beliau bisa menyelesaikannya dengan cara lain.

“Misalnya dengan menuntut pertanggungjawaban pelaku di depan aparat kepolisian,” kata dia.

Sebaliknya, seandainya kritik tersebut pedas namun benar, Presiden harus legowo dan berusaha memperbaikinya.

Kritik terhadap pemimpin negara bukannya terjadi kali ini saja. Para Presiden terdahulu pun tak luput memperolehnya.

“Namun toh selama ini tidak terjadi masalah besar, Presiden baik-baik saja, kenapa harus ada pasal itu,” ujar Saleh.

Saleh mencontohkan, SBY banyak mendapatkan banyak penghinaan namun beliau menanggapinya dengan bijaksana.

“Dihina sampai bawa kerbau dan dituduh ini-itu, tapi beliau sebagai warga negara yang baik melaporkan ke kepolisian, ujung-ujungnya damai. Tidak perlu pasal, bikin repot,” ucapnya.

Saleh menyebut krtitik terhadap sesuatu yang merugikan  kepentingan raktat harus disampaikan. Meski begitu, kebebasan bependapat tidak boleh berlebihan, harus tetap memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement