Rabu 05 Aug 2015 09:50 WIB

Kementerian ATR/BPN Miliki Tiga Prioritas Wujudkan Nawacita

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) disambut tokoh adat saat menyerahkan sertifikat hak atas tanah kepada masyarakat adat Tengger.
Foto: Kementrian ATR
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) disambut tokoh adat saat menyerahkan sertifikat hak atas tanah kepada masyarakat adat Tengger.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) berkomitmen mewujudkan tanah untuk keadilan ruang hidup bagi rakyat. Hal ini merupakan implementasi dari Nawacita atau Sembilan Agenda Prioritas Presiden Republik Indonesia Periode 2014-2019.

Kementrian ATR/BPN berkomitmen untuk menjamin kehadiran negara atas segala hal mengenai tanah dan ruang. “Tanah merupakan karunia Tuhan, jadi harus menjadi sumber kemakmuran dan kesejahteraan, bukan menjadi sumber konfik dan eksploitasi,” kata dia Menteri ATR/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan.

Untuk merealisasikan hal tersebut, Menteri ATR/Kepala BPN telah menetapkan tiga program prioritas bagi institusi yang dipimpinnya. Tiga program tersebut yaitu peningkatan kualitas penataan ruang, peningkatan kualitas pelayanan, dan peningkatan penanganan sengketa pertanahan.

Dalam rangka meningkatkan kualitas penataan ruang maka penyelenggaraan penataan ruang tahun 2015 - 2019 diarahkan untuk mewujudkan pembangunan Indonesia dari pinggiran. Selain itu, tata ruang juga memprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan pengembangan tol laut, kedaulatan pangan dan energi, pegembangan kawasan perbatasan negara termasuk pulau-pulau terluar, disparitas pembangunan antar wilayah dan kawasan serta perubahan iklim.

Program penyelenggaraan penataan ruang akan difokuskan antara lain pada penyusunan Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK) bidang penataan ruang, penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional, fasilitasi penyediaan peta skala 1: 5.000, serta pembentukan, peningkatan kapasitas dan fasilitasi pelaksanaan tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan, jajaran Kementerian ATR/BPN telah dan akan terus melakukan berbagai inovasi dan terobosan, seperti pelayanan Sabtu-Ahad, pelayanan online, pelaksanaan Program Nasional Agraria (Prona) berbasis kelurahan/desa, dan sertipikasi gratis untuk pemegang Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

Selain itu, Kementerian membebaskan atau memberi keringanan biaya sertifikasi tanah kepada lembaga sosial keagamaan, masyarakat tidak mampu, PNS, TNI, POLRI, pensiunan, veteran, serta janda atau duda veteran/pensiunan.

Untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat hukum adat serta hak-hak masyarakat yang telah menguasai tanah dalam jangka waktu yang cukup lama, di mana tanah tersebut merupakan tempat hidup dan mencari kehidupan, telah diterbitkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.

Kementerian ATR/BPN juga berperan aktif dalam menjaga kedaulatan serta aset bangsa dengan cara melakukan percepatan sertipikasi atas pulau-pulau kecil dan terluar. Salah satu tujuan pensertipikatan pulau-pulau terluar tersebut adalah agar status hukum pulau-pulau terluar Indonesia menjadi jelas.

Terkait dengan peningkatan kualitas penanganan sengketa agraria/pertanahan, Kementerian ATR/BPN  menggunakan berbagai pendekatan, baik melalui upaya pencegahan maupun percepatan penyelesaian atas sengketa pertanahan yang sudah terlanjur terjadi.

Untuk mencegah terjadinya sengketa, Kementerian ATR/BPN telah dan terus melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang Agraria, selain dengan cara menerapkan One Map Policy dan pembenahan internal dengan meningkatkan pengendalian dan pengawasan.

Sedangkan untuk sengketa pertanahan yang sudah terjadi, Menteri ATR/Kepala BPN telah menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk dapat menyelesaikan sengketa tanah melalu musyawarah (non-litigasi), sehingga dapat dihasilkan penyelesaian yang bersifat “win-win solution”. Bagi sebagian masyakakat, jalur pengadilan merupakan hal yang asing. Selain itu, penyelesaian melalui pengadilan biasanya mahal dan memerlukan proses yang rumit dan panjang. (ADV)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement