Oleh: Nidia Zuraya
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Papan hitam bertuliskan GKPI Jatinegara menjadi satu-satunya penanda bangunan setengah jadi dua lantai tersebut adalah tempat ibadah. Papan penanda tersebut menurut Santy, warga yang rumahnya tepat berada di depan bangunan gereja, baru dipasang sejak tiga tahun lalu.
"Sebelumnya nggak ada papan nama yang menunjukkan bahwa itu bangunan gereja," ujarnya kepada ROL, Senin (27/7).
Santy dan kedua orangtuanya sudah bermukim di Jalan Catur Tunggal RT 012 RW 001 sejak 1979. Sakimun (64 tahun) yang merupakan ayah Santy menuturkan, tanah yang menjadi lokasi bangunan gereja pada awalnya dimiliki oleh Pak Misban yang pada tahun 1979 menjabat sebagai Wakil Lurah Cipinang Besar.
"Sewaktu dimiliki oleh Pak Misban masih berupa lahan sawah," ujar Sakimun.
Menurut Sakimun, lahan tersebut kemudian dijual oleh Pak Misban ke Pak Mus. Pada 1986, lahan tersebut dijual oleh Pak Mus ke keluarga Simanjuntak. "Saat dimiliki oleh Pak Mus, lahan tersebut sempat digunakan sebagai tempat usaha pangkalan minyak tanah dengan bangunan bedeng (rumah semi permanen) berdiri di atas lahan tersebut," tutur Sakimun.
Aktivitas peribadatan umat Kristiani menurut Eva (55), yang rumahnya tepat berada di samping bangunan GKPI Jatinegara, sudah berlangsung sejak 1989. Pernyataan Eva tersebut sekaligus untuk mengklarifikasi pernyataan Pengurus GKPI Jatinegara yang menyebutkan bangunan gereja tersebut sudah berdiri di sana sejak 1973 dan pihak GKPI Jatinegara mengeluhkan sulitnya mengurus perizinan pengalihan fungsi dari rumah tinggal menjadi tempat peribadatan (Gereja).
"Saat itu (tahun 1989, Red) lahannya masih dimiliki oleh Pak Simanjuntak, dan jumlah jemaat yang datang untuk kebaktian di bangunan bedeng tersebut bisa dihitung sama jari," ungkap wanita yang sudah tinggal di wilayah tersebut sejak 1985.
Di pengujung 1989, kata Eva, keluarga Simanjuntak menjual lahan tersebut. "Sejak saat itu jumlah orang yang ikut kebaktian setiap akhir pekan di sana terus bertambah," ujarnya pemilik salon kecantikan ini.
Sejumlah warga yang tinggal berdampingan dengan bangunan bedeng sempat mempertanyakan aktivitas kebaktian tersebut. "Saat itu pengurus gereja memberikan alasan bahwa mereka hanya sementara menggelar kebaktian di sana sampai bangunan gereja GKPI di Jatinegara selesai direnovasi," kata Sakimun.
Saat itu, lanjut Sakimun, warga bisa menerima alasan yang disampaikan pihak gereja. Namun, tahun berganti tahun, kata Sakimun, tidak ada tanda-tanda kegiatan kebaktian setiap akhir pekan berkurang. "Yang terjadi justru jumlah jemaatnya semakin bertambah dan bahkan mereka sekarang mau meningkat bangunan yang ada menjadi dua lantai," tuturnya.
Untuk memuluskan rencana tersebut, ungkap Sakimun, pada pertengahan 2014 lalu pihak pengurus gereja mengutus orang kepercayaan mereka untuk mendatangi beberapa warga dan memberikan amplop berisi uang.
"Rumah saya termasuk yang didatangi oleh utusan gereja. Saat itu istri saya sedang menyapu halaman rumah. Karena saya tau itu uang pelicin agar warga mengizinkan pembangunan gereja, saat itu juga langsung saya tolak. Tapi memang ada beberapa tetangga yang saya kenal menerima amplop tersebut," ujarnya.
Tak hanya memberikan amplop, menurut Santy, pada Jumat (24/7) kemarin, tetangga disamping rumahnya didatangi oleh empat orang pengurus GKPI Jatinegara. "Mereka (pengurus gereja, Red) datang sambil membawa bingkisan seperti parsel. Tapi kemudian ditolak," kata Santy.
Pengalaman lain diceritakan oleh Safnimar (50). Pada 2013 silam, ia sempat didatangi oleh pengurus RT012 yang meminta fotokopi KTP.
"Saat itu saya tidak kasih karena memang tidak punya copian KTP. Tapi belakangan saya tahu kalau fotokopi KTP warga digunakan untuk membuat surat pernyataan persetujuan warga atas pembangunan gereja GKPI Jatinegara di RT012. Yang saya tahu, KTP tersebut diminta untuk keperluan memalsukan tandatangan warga," tutur perempuan yang sudah menetap di wilayah RT 012 sejak 1980 ini.