REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi salah satu penyakit yang paling mengkhawatirkan di dunia. Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menyebut, persebaran DBD di negara-negara Asia sendiri cenderung beragam.
Hal inilah yang menjadi fokus dalam pertemuan pakar kesehatan Asia, TAG APSED, pada Juli tahun ini di Manila, Filipina. Tjandra menuturkan, nyamuk penyebar DBD di setiap negara kawasan Asia tak bisa disamaratakan.
Misalnya, lanjut dia, di Jepang DBD tidak disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti seperti di Indonesia, melainkan oleh jenis Aedes Albopictus alias "Tiger Mosquito".
Persebaran DBD pun tetap ada di negara yang ketat dalam hal sanitasi. Di Singapura, ujar Tjandra, empat jenis virus Dengue tetap ditemukan bersirkulasi dan menhadi masalah kesehatan penting
"Bahkan ada yang menyebut DBD di Singapore sebagai hyperendemic," kata Tjandra Yoga Aditama dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin (27/7).
Pertemuan TAG APSED juga menemukan sejumlah fakta. Tjandra yang juga merupakan co-chair tersebut menjelaskan, jumlah kasus DBD secara global diperkirakan sebanyak 390 juta per tahun di lebih dari 100 negara. Selain itu, setiap tahun, sekitar setengah juta orang di dunia mengalami DBD akut. Untuk Asia sendiri, tegas Tjandra, penyakit DBD menghabiskan anggaran sekitar dua miliar dolar AS, di luar biaya pencegahan.
"Di dunia, data DBD menunjukkan jumlah kasus baru DBD meningkat 30 kali dalam 50 tahun ini," ujar dia.
Untuk itu, lanjut Tjandra, masyarakat diimbau untuk giat melaksanakan program 3 M plus. Ini masih tetap jadi cara penanggulangan utama untuk meminimalkan persebaran DBD. Apalagi, pada waktu musim kemarau yang terjadi di sebagian besar kawasan Tanah Air.