REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane menyayangkan adanya pernyataan Kapolri Jendral Badrodin Haiti yang menyebut 12 orang di Tolikara telah melanggar hak asasi manusia (HAM), dan harus ditembak petugas.
Menurutnya, tidak logis jika lemparan batu yang dilakukan massa, harus dibalas dengan peluru. Neta menjelaskan Polri telah memiliki standar operasional prosedur (SOP) untuk menghadapi huru-hara massa.
Hal ini meliputi penggunaan tameng, tongkat pemukul, gas air mata. Semua itu harus dilakukan sebelum polisi menggunakan peluru sebagai senjatanya. Dengan itu, Neta berharap ada penyelidikan menyeluruh di internal kepolisian untuk mengusut apakah terjadi pelanggaran SOP dan HAM saat insiden Tolikara.
"Jangan belum apa-apa sudah sebut melanggar HAM," katanya pada Republika, Selasa (21/7).
Ia memaklumi jika pernyataan Kapolri tersebut diungkapkan untuk melindungi anak buahnya. Maka dari itu, penyelidikan pelanggaran SOP kepolisian ini juga harus dilakukan Komnas HAM dan Kompolnas. "Karena kalau Polri yang menyelidiki, sudah tidak akan objektif," tegasnya.
Seperti diketahui, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengungkapkan bahwa pada kasus Tolikara, Papua pada Jumat (17/7), Polri terpaksa mengeluarkan tembakan karena tak mengindahkan peringatan petugas. Ketika upaya negosiasi dilakukan, justru massa tersebut terus mendesak dan melakukan pelemparan. Upaya penembakan pun dilakukan untuk menegakkan hukum konstitusi.