Senin 20 Jul 2015 10:50 WIB

Subak Dinilai Benteng Kebudayaan Bali

Subak di Tabanan, Bali
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Subak di Tabanan, Bali

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia menilai sawah dan organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) yang diwarisi secara turun temurun menjadi benteng kebudayaan Bali yang merupakan salah satu daya tarik pariwisata Pulau Dewata.

"Jika sawah beralih fungsi dan organisasi pengairan rusak otomatis kebudayaan Bali hancur dan Bali tidak lagi menjadi daya tarik bagi wisatawan," kata Prof Windia yang juga guru besar Fakultas Pertanian Unud di Denpasar, Senin (20/7).

Ia mengatakan, petani Bali dalam beberapa tahun belakangan ini, khususnya di daerah perkotaan lebih tertarik "menanam beton" dibanding memelihara kebudayaannya di sawah.

"Kondisi demikian diperparah, jika dilaksanakan reklamasi di Teluk Benoa, Kabupaten Badung yang berdampak terhadap sawah dan subak di Bali akan semakin habis untuk melayani kaum migran itu," ujar Prof Windia.

Hasil sensus penduduk yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali tahun 2010 mencatat bahwa sekitar 62.000 orang migran menetap di Bali setiap tahun.

"Mereka memerlukan pekerjaan, rumah, dan berbagai fasilitas lainnya, seirama dengan sektor pertanian di Bali yang tercekik, maka petani Bali menjadi lebih tertarik untuk membangun rumah kos-kosan di sawahnya," tutur Prof Windia.

Dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bali tidak boleh menolak dan anti migran, sepanjang mereka mempunyai keahlian, pekerjaan, tidak kriminal, dan mampu beradaptasi dengan kebudyaan Bali. Oleh sebab itu jalan yang paling baik untuk memotong kehadiran kaum migran ke Bali melalui kebijakan pemerintah.

Windia menilai pemerintah harus segera menghentikan (moratorium) pembangunan hotel di Bali, dan mengalihkan pembangunannya untuk turis itu ke Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Banyuwangi (Jawa timur).

Hal itu untuk pemerataan pembangunan nasional dan menghindari desintegrasi bangsa, karena migran datang ke Bali, karena adanya pembangunan sektor pariwisata.

Menurut catatan konsultan Sceto (Perancis), bahwa di Bali cukup dibangun sekitar 24.000 kamar hotel berbintang.

Namun sekarang berdasarkan catatan DPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali di Pulau Dewata terdapat 2.260 hotel kelas bintang dan non bintang dengan kapasitas 56.971 kamar.

Kamar hotel tersebut di luar vila yang keberadaannya kini tersebar hingga ke daerah pelosok perdesaan dan banyak yang belum memiliki izin.

Windia mengingatkan, dari saran konsultan Perancis tersebut kondisi pariwisata di Bali adalah sebuah resiko dari otonomi yang ada pada kabupaten/kota. Oleh sebab itu perjuangan otonomi khusus untuk Bali  terhadap beberapa bidang tertentu perlu terus diperjuangkan.

"Kita tak tahu entah kemana bangkai dokumen perjuangan otonomi khusus yang pernah dilakukan DPRD Bali, dengan biaya miliaran rupiah. Seharusnya ada transparansi dan akutabilitas dari kebijakan yang dahulu pernah diramaikan," ujar Prof Windia yang pernah sukses mengawal usulan subak menjadi warisan budaya dunia (WBD) kepada UNESCO.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement