Senin 29 Jun 2020 21:12 WIB

Menyibak Subak yang Jadi Google Doodle Hari Ini

Warisan budaya Subak belum tentu membawa kesejahteraan bagi petaninya.

Warga Denpasar berjalan di lintasanjogging di pematang sawah kawasan terbuka hijau Subak Sembung, Denpasar, Bali. Google Doodle mengangkat ilustrasi Subak Bali pada Senin, (29/6/2020).
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Warga Denpasar berjalan di lintasanjogging di pematang sawah kawasan terbuka hijau Subak Sembung, Denpasar, Bali. Google Doodle mengangkat ilustrasi Subak Bali pada Senin, (29/6/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Antara

Hari ini Google Doodle menampilkan ilustrasi Subak. Subak sudah eksis di Bali sejak 1.000 tahun silam hingga sekarang.

Baca Juga

Tampilan Google Doodle, Senin (29/6) berupa ilustrasi Subak dilakukan dalam rangka memperingati pengesahan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di kota Saint Peterburg, Rusia, pada 2012. Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, mengatakan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud akan terus melakukan kerja sama dengan pihak Google untuk penyebarluasan informasi dan pengetahuan mengenai Kebudayaan.

"Sehingga masyarakat dunia dapat mengenal kekayaan budaya Indonesia lebih jauh lagi," ujar Hilmar Farid, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (29/6).

Ilustrasi Subak tersebut merupakan karya ilustrator asal Indonesia, Hana Augustine. Gambar lukisan seorang petani tengah duduk di gubuk dan memandang ke arah sawah nan hijau.

Saat gambar diklik, maka pengguna akan dibawa ke hasil pencarian tentang Subak. Seperti mengenal apa itu Subak dan berita terkait lainnya.Subak merupakan refleksi dari filosofi Bali kuno Tri Hita Karana, tiga penyebab kesejahteraan.

Berakar dari ideologi kuat yang diturunkan turun temurun, sistem subak tradisional telah ditegakkan dengan penuh dedikasi sejak pembentukannya pada awal abad ke-9. Subak memang menarik untuk dikunjungi, sebab sawah Subak memiliki pemandangan yang indah, sehingga banyak orang ingin sekadar melihat dan berfoto.

Kata Subak sendiri tidak hanya merujuk pada infrastruktur irigasi, tetapi juga tradisi sosial yang mengelilinginya. Melalui sistem ini, pasokan air yang terbatas dikelola melalui sekitar 1.200 kolektif petani individu.

Sistem Subak yang terdiri dari jaringan kanal, terowongan, dan bendungan ini telah memungkinkan orang-orang di Pulau Bali mempertahankan sawah yang subur dan hidup dalam simbiosis dengan alam lebih dari seribu tahun. Ditjen Kebudayaan telah bekerja sama dengan Google dalam banyak hal.

Misalnya program Google Art Project yang dilakukan oleh Museum Nasional Indonesia, Unit Pelaksana Teknis yang bernaung di bawah Ditjen Kebudayaan berkolaborasi dengan Google. Program itu merupakan bentuk promosi karya seni adiluhung Indonesia ke tingkat dunia via situs online.

Kemudian Google Arts and Culture, sebuah program yang mengajak masyarakat untuk mengenal lebih jauh khazanah budaya Indonesia melalui Google Arts and Culture. Melalui platform digital itu, masyarakat kini dapat mengakses berbagai museum nasional dari puluhan negara, tempat bersejarah, dan kini lebih dari 4.000 buah koleksi Wayang dari Museum Wayang Nasional, dengan menggunakan gawai di mana pun mereka berada.

photo
Google Doodle hari ini menampilkan subak untuk memperingati ditetapkannya subak sebagai warsan dunia UNESCO. - (google)

Selain itu, para pelajar, peneliti dan penikmat seni di Indonesia dan seluruh dunia bisa mendapat pengalaman nyata berada di museum lewat teknologi virtual reality. Aplikasi ini dapat diakses dengan mudah melalui ponsel dengan mengunggah aplikasi Google Arts & Culture yang tersedia di Android dan iOs.

Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali.

Mengutip laman kebudayaan.kemendikbud.go.id, dijelaskan bahwa Subak bagi masyarakat Bali bukan hanya sekedar sistem irigasi, tapi juga filosofi kehidupan. "Dalam pandangan masyarakat Bali, Subak adalah cerminan langsung dari filosofi dalam agama Hindu Tri Hita Karana (tiga penyebab kebaikan), yang mempromosikan hubungan yang harmonis antara individu dengan alam semangat (parahyangan), dunia manusia (pawongan), dan alam (palemahan)," demikian tulis situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Keberadaan Subak bisa bertahan hingga kini karena kesetiaan masyarakat terhadap tradisi leluhur. Pembagian air dilakukan secara adil. Semua masalah dibicarakan bersama, bahkan hingga soal waktu tanam dan jenis padinya.

"Sanksi terhadap segala bentuk pelanggaran akan ditentukan sendiri oleh warga melalui upacara yang dilakukan di pura. Harmonisasi kehidupan inilah yang menjadi kunci lestarinya budaya Subak," tulis situs Kemendikbud.

Oleh sebab itu, Subak diajukan sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia pada tahun 2000. Penetapan sebagai Warisan Budaya Dunia ini disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah Bali.

Sesuai dengan pengajuannya, Subak di Bali yang memiliki luas sekitar 20.000 hektare yang berada di lima kabupaten, yaitu kabupaten Bangli, Gianyar, Badung, Buleleng, dan Tabanan.

Ahli Pertanian dari Universitas Udayana, Profesor I Wayan Windia, pernah menuturkan tentang Subak. Katanya, Subak adalah organisasi pengairan tradisional bidang pertanian yang diterapkan secara turun temurun di Bali memiliki kearifan lokal dan kecerdasan.

"Kecerdasan lokal yang dimiliki Subak itu menunjukkan identitas sosio-kultural atau sosio-religius yang unik dan unggul," kata Prof Windia yang juga ketua pusat penelitian subak Universitas Udayana.

Ia mengatakan, kearifan lokal dengan berbagai kecerdasan yang dimiliki Subak itu merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Bali yang menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan berkunjung ke daerah ini. Kearifan lokal dalam organisasi Subak itu memperoleh keunikan lokal berbasis konsepsi Tri Hita Karana yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, dengan lingkungan dan Tuhan yang mendapat apresiasi universal.

photo
Wisatawan menyaksikan pemandangan terasering sawah berundak khas Bali atau Subak di persawahan Desa Tegalalang, Gianyar, Bali. - (Antara)

Prof Windia menambahkan, esensi kearifan lokal menyangkut komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa relegiusitas dan konstruksi penalaran yang berempati pada persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk jagatraya yang berkelanjutan.

Dalam rentang panjang kebudayaan agraris, organisasi Subak yang diperkirakan telah berkembang sekitar sepuluh abad (sejak abad XI) telah membangun jaringan struktural dan fungsional yang kokoh. Secara eksistensialisme, sosialisasi dan kearifan lokal terhadap petani anggota subak telah menembus lintas wilayah, lintas sektor dan lintas generasi, sehingga telah mampu tumbuh.

Kearifan lokal yang dibangun melalui kedalaman mitologi dalam sinergi nilai-nilai luhur kebudayaan seperti religius, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan yang dinamik memperoleh roh dan basis modal spiritualitas. Etos kebangkitan kearifan lokal mendapat momentum terkait dengan kebutuhan dan harapan masyarakat secara teks dan konteks yang kaya akan fungsi dan makna, ujar Prof Windia.

Subak di Bali namun bukan tanpa masalah. Salah satunya adalah ancaman pengalihan penggunaan. UNESCO padahal sudah mengamanatkan seluruh kegiatan pembangunan harus mendapatkan nota catatan dari lembaga dunia tersebut.

Subak pasalnya adalah benteng kebudayaan Bali yang menjadi daya tarik pariwisata. Artinya, jika sawah beralih fungsi dan pengairannya rusak, maka Bali tak akan lagi menjadi daya tarik wisatawan. Windia berharap pemangku kepentingan memberi perhatian pada ksejahteraan petani yang menjaga keberlangsungan Subak.

Selain masalah kesejahteraan, petani juga harus menanggung beban pajak dan kendala operasional, seperti pasokan air terbatas. Petani membutuhkan pendampingan supaya meski ada kegiatan ekonomis, tatanan Subak tetap terjaga.

Penghasilan petani yang terhimpun dalam wadah organisasi pengairan tradisional bidang pertanian subak di Bali sangat memprihatinkan, bahkan rata-rata hanya setara dengan pendapatan seorang pengemis.

"Petani yang memiliki dan menggarap sawah seluas satu hektare menghasilkan Rp 3 juta per bulan, sedangkan seorang pengemis bisa meraih pendapatan Rp 100 ribu per hari atau juga Rp 3 juta per bulan," katanya.

Windia mengatakan, petani di Bali umumnya memiliki sawah antara 25-50 are sehingga penghasilannya relatif kecil. Apalagi harga gabah juga rendah.

“Masyarakat miskin umumnya berada di daerah pegunungan dan di pantai, sehingga mereka itu perlu mendapat perhatian seperti dididik didampingi untuk menanam sayu-mayur, beternak dan memelihara ikan maupun usaha produktif lainnya yang mampu meningkatkan pendapatan,” harap Windia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement