REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Era informasi digital yang semakin maju, membuat upaya mendapatkan informasi untuk menguasai ekonomi semakin kencang. Belum lagi, sistem sektor perbankan Indonesia yang masih rawan terhadap peretasan.
“Sistem sektor perbankan yang masih rawan dan masalah lainnya membuat BIN harus berkolaborasi dengan lembaga lain untuk bisa tangguh di era cyber intelejen,” kata pengamat keamanan cyber Pratama Persadha dalam pernyataan tertulisnya yang diterima ROL, Selasa (14/7).
Terkait hal tersebut, ia berpendapat Badan Intelijen Negara (BIN) harus mampu menggandeng lembaga intelijen lainnya untuk bekerjasama dan bertukar informasi cyber intelijen. Lembaga terebut antara lain Lembaga Sandi Negara, intel Kejaksaan Agung, intel Polri, Bais TNI, Ditjen Bea Cukai, imigrasi, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
“Data intelejen yang lengkap maka informasi yang bisa diserahkan kepada Presiden akan semakin komprehensif,” ungkap Pratama. Sehingga, kata dia, hal tersebut sangat membantu untuk mengambil keputusan yang strategis.
Selain itu, ia menegaskan saat ini kondisi Indonesia yang sedang membangun basis cyber intelligence maka harus memakai produk dalam negeri. Hal tersebut disebabkan, cyber intelligence bukan hanya harus dioperasikan oleh anak bangsa namun alat dan teknologi harus diusahakan asli buatan Indonesia.
“Buat apa kita bangun sistem mahal dan canggih, namun karena ketergantungan pada produk asing, setiap informasi intelejen kita masih bisa diambil asing,” jelas Pratama.