Sabtu 11 Jul 2015 20:48 WIB

Politik Dinasti Dilegalkan, MK Dituding tidak Adil

Rep: C14/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria.
Foto: Antara
Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan berlakunya larangan politik kekerabatan terus menuai kecaman. Sebelumnya, Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dianulir oleh MK.

Menurut Wakil Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria, putusan itu sangat mengecewakan legislator yang telah merancang undang-undang tersebut. Sebab, Ahmad melanjutkan, putusan ini baginya sangat berat sebelah dan mengabaikan konteks realitas demokrasi di daerah-daerah.

Kendati demikian, Ahmad mengaku menghormati putusan yang telah final dan mengikat itu. "Seolah-olah MK bicara keadilan. Tapi, keadilan hanya bagi keluarga petahana, tidak adil bagi masyarakat di satu kota, di satu daerah, yang jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan orang," kata Ahmad Riza Patria, Sabtu (11/7), di Cikini, Jakarta.

Politisi Partai Gerindra ini menambahkan, MK semestinya mengerti bagaimana pemimpin daerah yang petahana mengonsolidasikan kekuasaannya, bahkan ketika masa jabatannya sudah lewat dua periode. Dengan cara itu, tegas Ahmad, sangat sulit bagi politisi biasa yang tak memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana untuk maju sebagai pemimpin di daerah-daerah.

"Karena dengan APBD yang jumlahnya ratusan miliar, bahkan triliunan (rupiah), anggaran itu untuk pembangunan daerah. Tapi selalu saja diselipkan, program-program, yang selalu diselipkan untuk kepentingan elektabilitas, popolaritas petahana. Itu dibagi-bagi jelang Pilkada," tutur Ahmad.

Bahkan, Ahmad menjelaskan, di sejumlah daerah masih ditemukan fakta yang bersebarangan dengan prinsip demokrasi. Yakni, petahana yang sudah menjalani masa jabatan dua periode, masih bisa memengaruhi calon kepala daerah penggantinya.

Bila tak ada keluarga petahana itu yang mau maju, tutur Ahmad, maka petahana itu akan mendukung politisi lain yang semata-mata meneruskan agenda kekuasaannya. "Ketika dua periode, tidak bisa lagi maju, pihak keluarganya juga tidak ada yang mau maju, maka dia cari 'boneka' dalam rangka memperpanjang kekuasaannya. Jadi tetap ingin berkuasa atas nama orang lain," tutup dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement