Sabtu 11 Jul 2015 07:59 WIB

Ini Cerita Putri, Pengemis 'Tajir' yang Punya Simpanan Emas Puluhan Juta

Rep: C17/ Red: Bayu Hermawan
Gelandangan dan pengemis.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Gelandangan dan pengemis. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi pengemis di Jakarta ternyata bisa mendulang banyak rupiah. Bahkan banyak pengemis yang bisa mengantongi pemasukan hingga Rp100.000 perhari. Salah satu pengemis 'tajir' yang beroperasi di Jakarta adalah Putri Handayani (45), warga asal Cikamurang, Subang, Jawa Barat.

Dengan bermodal penampilan lusuh, muka memelas, plus membawa anaknya Neneng yang masih berusia 8 tahun, Putri Handayani mampu meraup keuntungan besar dari belas kasihan dan rasa iba masyarakat Ibukota.

Bagaimana tidak, saat diamankan petugas Satpol PP di kawasan Cipinang Baru, Jakarta Timur, pada Kamis (9/7) lalu, dari wanita itu petugas menemukan uang sebesar Rp5,5 juta. Bukan hanya itu saja, petugas juga menemukan tabungan perhiasan milik Putri dengan total nilai Rp30 juta.

Putri Handayani mengaku sudah 10 tahun menjalani pekerjaan sebagai pengemis di Jakarta. Wanita itu bercerita, awal pertama kali datang ke Jakarta, ia hanya bekerja sebagai pedagang asongan. Namun karena biaya kebutuhan hidup semakin berat, ia pun tergiur untuk menjadi pengemis.

"Waktu itu saya bertanya ke pengemis lain, dan katanya bisa mengumpulkan uang Rp2 juta perhari. Saya kaget saat tahu bisa meraup penghasilan 2 juta perhari. Kenapa saya gak coba-coba jadi seperti itu? Ya walaupun tidak bisa bermain musik dan bernyanyi saya sepakatkan sendiri jadi pengemis saja," jelasnya, Jumat (10/7).

Wanita itu juga mengatakan, ia tinggal di wilayah pegunungan di Sumedang dan sepi perputara uang. Sebenarnya, ia tak rela dipulangkan ke kampung halamannya, setelah 'diciduk' petugas.

"Saya tidak mau pulang kampung, di kampung sepi dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan serta uang banyak," ucapnya.

Putri menambahkan, uang hasil mengemis rencananya akan dipergunakan untuk sekolah anaknya. Wanita ini menjadi pencari nafkah sendiri karena mengaku sudah lama ditinggal suaminya. Nantinya uang ini akan diginakan untuk sekolah anaknya.

Sementara itu, Kepala Panti Sosial Bina Insan Daya 2, Haryanto mengatakan, pihaknya akan memulangkan putri ke kampung halaman yang bersangkutan di Sumedang, Jawa Barat. Pemulangan akan dilakukan bersama pengemis yang lain sebelum Lebaran ini.

"Akan kami kembalikan ke keluarganya menjelang Lebaran ini bersama pengemis lainnya," ujar Haryanto.

Sementara Kepala Sudin Sosial Jakarta Timur, Marjito menjelaskan kemungkinan mereka memanfaatkan momentum bulan Ramadhan dengan mengemis lebih banyak. Terlebih, sang ibu juga membawa anaknya saat melakukan praktik tersebut. Sehingga, hal itu lebih menambah iba masyarakat agar memberi uang dalam jumlah banyak.

"Si ibu tentu saja secara tidak langsung telah memanfaatkan anaknya. Dirinya memperlakukan anaknya seperti itu, hal ini sangat dilarang," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa praktik mengemis di jalan sudah termasuk pelanggaran terhadap Perda 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum di mana dengan sangat jelas melarang, memberi dan menerima di jalan.

Marjito mengungkapkan masalah pengemis adalah masalah yang pelik. Ia tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang. Masalah pengemis, pengamen, dan sebagainya, merupakan masalah dari berbagai aspek, seperti politik, sosial, dan ekonomi.

"Tergantung dari kacamata mana kita memandangnya," ucapnya.

Banyak alasan yang mendasari seseorang atau sekelompok orang terjun menjadi pengemis. Pertama, karena secara lahir mereka cacat dan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja, pun tak ada yang menangung biaya hidupnya. Mereka memperlihatkan kecacatannya untuk mengundang belas kasih orang lain.

Kedua, karena tidak mampu untuk membayar biaya sekolah. Ketiga, karena terpaksa. Entah terpaksa oleh keadaan atau dikoordinir oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Masih ada banyak alasan lain yang membuat seseorang mengemis dijalanan, bila ditinjau lebih dalam, akar permasalahan fenomena ini hanya satu, yaitu labirin kemiskinan. Entah itu miskin materi, pendidikan, atau miskin usaha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement