Selasa 07 Jul 2015 05:17 WIB

Islamisasi Jawa Berpusat di Keraton

Abdi dalem melakukan salat Id 1434 Hijriah di Keraton Yogyakarta, Kamis (8/8).
Foto:

Benarkah raja Mataram bisa mengubah ketentuan ‘paugeran’ dengan begitu saja? Dan, apakah paugeran dan klaim atas perjanjian leluhur itu mitos untuk melegitimasi kekuasaan?

Kalau yang dimaksud dengan paugeran itu adalah gelar raja, bisa diubah atau disederhanakan karena masifnya modernisasi. Pengantar Goenawan Moehammad dalam buku Nancy K Florida berjudul Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial mengungkapkan bahwa gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah tidak sesuai lagi disandang seorang raja, dan lebih cocok disandang oleh ulama karismatik. Karena itu, klaim perjanjian luhur merupakan mitos untuk melegalkan status mereka.

Apakah konsep manunggaling kawula gusti sekarang masih dilaksanakan? Ataukah sekadar klaim atau mitos yang jauh dari fakta?

Manunggaling kawula gusti merupakan implikasi dari kekuasaan berparadigma Ilahiyah. Dan, kekuasaan Ilahiyah adalah bentuk kekuasaan absolut. Prinsip manunggaling kawula gusti bermakna ganda, yakni: (pertama) memisahkan secara tegas antara kawula dan gusti, (kedua) adanya kesederajatan antara kawula dan gusti, (ketiga) mencari dukungan politik kawula.

Dalam konteks kekuasaan Ilahiyah, pada satu sisi ada garis pemisah antara gusti dan kawula, tetapi pada sisi lain kawula adalah kekuatan legitimasi politik.

Sampai sejauh mana peran gubernur jenderal VOC  dan Hindia Belanda untuk menaikkan dan menurunkan seorang raja Mataram pasca tahun 1830 atau ketika kerajaan di Jawa Tengah ini benar-benar mutlak berada di genggaman penguasa kolonial?

Peran gubernur jenderal VOC hanya pada proses penentuan putra mahkota. Dalam proses penaikan gubernur jendral hanya mengikat perjanjian dengan raja. Meskipun demikian, gubernur jenderal tidak serta-merta dapat memilih calon raja. Pencalonan putra mahkota tetap merupakan hak prerogatif raja.

Di sinilah perlu dipahami bahwa meskipun kerajaan secara politis berada di bawah genggaman penguasa kolonial, tidak benar bahwa proses penaikan dan penurunan raja juga dikendalikan penguasa kolonial sepenuhnya. Dalam hal ini, intervensi gubernur jenderal hanya terjadi di saat yang diperlukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement