Selasa 07 Jul 2015 05:17 WIB

Islamisasi Jawa Berpusat di Keraton

Abdi dalem melakukan salat Id 1434 Hijriah di Keraton Yogyakarta, Kamis (8/8).
Foto:

Kalau di kesultanan zaman Demak raja tak berkuasa absolut karena ada dewan ulama atau wali. Lalu, apakah di Kerajaan Mataram Islam kemudian malah raja berkuasa mutlak atau tak terbatas?

Pada zaman Kerajaan Demak, paradigma politik yang dianut adalah decending of power atau religio political power. Descending of power merupakan sistem politik yang dipengaruhi oleh kekuatan agama, dan dalam sistem itu ulama yang bersinergi dengan kekuatan politik berperan memberi fatwa terhadap kebijakan publik yang diberlakukan raja. Peran ulama itu untuk menekan gejolak politik yang mungkin dapat mengganggu stabilitas keamanan saat kebijakan publik diberlakukan.

Artinya, ulama yang berada di sekitar lingkaran kekuasaan dimungkinkan membatalkan kebijakan publik yang dipandang tidak berpihak kepada rakyat, atau kebijakan itu memang dibutuhkan untuk pengorbanan demi keutuhan negara. Dengan demikian, ulama harus memastikan seberapa jauh kebijakan itu tidak untuk eksploitasi, tetapi demi kepentingan negara.

Transendensi konsep kekuasaan Jawa tidak saja berpijak pada prinsip etika dan moral, tetapi juga mempertimbangkan persoalan-persoalan legitimasi politik yang mungkin dapat dipetik melalui kebijakan publik itu. Jadi, peran ulama di situ adalah sebagai arbitrase untuk menciptakan kestabilan politik pada awal dekade kekuasaan Demak.

Stabilitas politik yang tercipta ini kemudian mendorong oleh relasi-relasi yang mengesankan antara variabel-variabel politik, misalnya lembaga politik, pembangunan ekonomi diperankan oleh para pedagang, dan partisipasi seluruh elemen politik. Dengan kata lain, relasi antarkomponen politik yang meliputi elite politik, ulama dan rakyat (petani, pedagang, dan buruh) memicu terbentuknya kesatuan politik Kerajaan Islam Demak.

Descending of power itu pun  tidak berlangsung lama. Karena, konsep religio political power oleh pewaris takhta Mataram dipandang sebagai pembagian kekuasaan dengan ulama. Karena itu, timbul keinginan untuk melakukan subordinasi sehingga relasi kesepadanan politik antara raja dan ulama bisa ditiadakan. 

Namun, adanya persepsi elite politik seperti ini justru kemudian mengoyak stabilitas politik, dan pada sisi lain berakibat fatal bagi Kerajaan Islam Demak, yakni memunculkan perpecahan yang berakhir dengan keruntuhan. Dan, dalam hal ini paling tidak ada da dua faktor penyebab perpecahan tersebut.

Pertama, besarnya intrik, provokasi, dan faksionalisme dalam konstelasi politik kerajaan tradisional itu. Persoalan intrik, provokasi, dan faksionalisme ini adalah juga sebagai akibat besarnya jumlah keluarga raja. Mereka berkepentingan untuk menguasai kekuasaan.

Sementara itu, aristokrat yang berseberangan dengan arus politik kerajaan distigma sebagai oposisi. Mereka disantrikan untuk memperdalam ilmu agama Islam di pesantren pilihan raja. Makna disantrikan adalah disingkirkan dari konstelasi politik, dan tindakan itu justru menguntungkan proses Islamisasi.

Pada sisi lain, tindakan penyantrian memacu tumbuhnya konflik antara aliran traditional Javanese mysctism dan orthodox legalistic Islam. Yang menarik dari kasus di atas adalah anak-pinak kelompok oposisi pada pertengahan abad ke-19 melancarkan gerakan protes bersifat periferal dan semiperiferal dengan basis ideologi Islam. Gerakan perlawanan keagamaan itu merupakan “embrio” gerakan perlawanan abad ke-20.

 

Kedua, di dalam lingkaran ulama juga terjadi perdebatan mengenai urgensi para ulama melibatkan diri dalam politik praktis di Kerajaan Islam Demak.

Salah satu ulama yang menentang aktivitas politik praktis itu adalah Syekh Siti Jenar. Dia berpendapat, ulama harus dapat memisahkan antara kepentingan dunia dan agama. Dia khawatir 'tangan suci ulama terbelit kotoran darah'. Inti pemikiran keagamaan Syekh Siti Jenar berfokus pada persoalan kesalehan personal, bukannya pada kesalehan sosial yang dibutuhkan masyarakat.

Namun, pemikiran Syekh Siti Jenar justru dijadikan pedoman elite politik pada pertengahan abad ke-17 untuk memutus relasi dengan ulama. Pemutusan relasi itu membangun struktur sosial baru yang disebut manunggaling kawula gusti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement