REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Analis politik Universitas Diponegoro Semarang Budi Setiyono menilai konsep dana aspirasi usulan Dewan Perwakilan Rakyat tidak sesuai dengan rasionalitas manajemen publik.
"Kalau Presiden menolak, ya, memang seharusnya ditolak. Domain anggaran itu kan pada eksekutif, sementara lembaga legislatif domainnya pada perencanaan," katanya di Semarang, Jumat (26/6) malam.
Penasihat politik tokoh oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi itu mengutarakan bahwa dana aspirasi setidaknya bertentangan jika dilihat dari dua aspek, pertama pada ketidaksesuaian perencanaan kegiatan.
Menurut dia, tata kelola atau mekanisme perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan harus dalam satu portofolio tunggal yang terkait satu sama lain untuk satu tujuan yang pasti.
"Dalam artian begini, DPR tidak bisa meminta alokasi dana khusus yang akan dilaksanakannya untuk kegiatan meski berdasarkan aspirasi masyarakat. Kan sudah ada mekanismenya," katanya.
Kedua, kata dia, dari profesionalitas pelaksanaan juga tidak sesuai karena DPR bukan ditugaskan utuk melaksanakan anggaran secara teknis. Namun, merumuskan sesuai dengan kepentingan rakyat.
"Pelaksana anggarannya siapa? Legislatif. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak bisa kemudian melaksanakannya sendiri karena DPR diberi mandat bukan untuk melaksanakan anggaran," kata pengajar FISIP Undip tersebut.
Budi mengakui dana aspirasi DPR pertama kali muncul ketika awal reformasi pada tahun 1999 dan sudah berjalan. Namun, pelaksanaannya ternyata membuat pemerintah kehilangan kontrol anggaran.
"Harusnya, pelaksanaan anggaran tidak boleh berjalan begitu saja. Namun, harus ada tahapan perencanaan yang solid. Bahwa setiap rupiah yang keluar harus dipastikan untuk perencanaan strategis," katanya.
Semestinya, kata dia, DPR bisa menjalankan tugas pokok fungsi (tupoksi) secara optimal tanpa harus meminta alokasi khusus untuk melaksanakan kegiatan berdasarkan aspirasi masyarakat.
"Anggota DPR rajin menyerap aspirasi masyarakat dan mengawalnya sesuai dengan mekanisme yang ada, yakni mengawal mulai musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) dari tingkat bawah," katanya.
Dari aspirasi yang diserap dari konstituennya, kata dia, anggota DPR bisa memetakan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, seperti pembangunan jalan yang diusulkan oleh warga di daerah pemilihannya.
"Ya, memang harus seperti itu, mengawal sesuai dengan mekanisme yang ada, mulai musrenbang tingkat bawah sampai atas untuk memastikan kebutuhan rakyat terakomodasi. Tidak bisa 'by pass'," katanya.