REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Golkar hasil Munas Jakarta, Agung Laksono menilai Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi seperti penyusunan APBN pada orde baru.
"Dana aspirasi itu sepertinya mau mengembalikan pola penyusunan APBN seperti orde baru, di mana banyak inpres (kuota dana sosial sisipan). Dana aspirasi ini rawan KKN," jelas Agung Laksono kepada wartawan di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Kamis (25/6).
Agung mengaku mendukung penolakan sejumlah pejabat pemerintah atas dana aspirasi itu. Menurutnya penolakan itu tidak berarti pemerintah mengabaikan aspirasi rakyat. Sebab, Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrenbang) dinilai Agung sudah bisa mengelola aspirasi rakyat secara komprehensif.
"Memang kewenangan parlemen hak 'budgeting', pengawasan dan legislasi. Tapi hak 'budgeting' disini adalah mendorong pemerintah merancang penyaluran anggaran secara menyeluruh, bukan pada daerah-daerah tertentu, karena mempertimbangkan aspek keseimbangan daerah," tutur dia.
Agung meminta legislator tidak menekan-nekan presiden untuk menyetujui dana aspirasi itu. Agung menilai, sebaiknya DPR mendorong saja perbaikan postur anggaran agar bisa memberikan pengaruh positif bagi masyarakat.
Pada Selasa (23/6), sidang paripurna DPR RI menyetujui Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi senilai Rp11,2 triliun per tahun bagi anggota dewan, meskipun tiga fraksi yakni Hanura, PDIP dan Nasdem menolak.
Dengan disetujuinya program tersebut, masing-masing anggota dewan akan dibekali dana Rp 20 miliar per tahun untuk kepentingan pembangunan di daerah pemilihannya. Program dana aspirasi ini menuai sejumlah perdebatan.