REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang (UU) KPK telah masuk dalam prioritas legislasi nasional (Prolegnas) dan disepakati DPR. Selanjutnya, adalah menentukan waktu kapan revisi UU tersebut akan mulai dibahas dan dieksekusi.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menilai revisi UU KPK seharusnya dilakukan setelah ada pembahasan terkait RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang juga akan direvisi. Karena menurutnya, KUHP merupakan acuan atau ketentuan umum dari penegakkan hukum di Indonesia.
Sedangkan UU KPK, lanjutnya, yang mengatur perihal lembaga, organisasi, kewenangan, serta aspek hukum acara, merupakan ketentuan khusus dari institusi itu sendiri. "Kalau ketentuan umum belum kita bahas, masa ketentuan khususnya kita buat dulu. Nanti ketentuan umum mengikuti ketentuan khusus dong. Kan tidak begitu," jelasnya pada Republika, Rabu (24/6).
Ia berpenpat, ketentuan umum dalam revisi UU KPK harus dibuat terlebih dulu. "Setelah itu, apa-apa yang khusus, dimasukan dalam UU KPK," tambahnya.
Atau, Arsul menilai, minimal, revisi UU KUHP dan UU KPK dilakukan secara bersamaan. Hal ini agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi di antara dua UU tersebut.
Karena dalam Prolegnas, kata Arsul, bukan hanya UU KPK yang direvisi.
Tetapi juga UU yang mengatur Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta BNN.
Sebelumnya, DPR resmi melakukan perombakan prioritas legislasi nasional
(Prolegnas) 2015. Salah satu yang menjadi sorotan ialah kesepakatan paripurna dewan untuk setuju memasukkan revisi UU KPK 30/2002 sebagai prioritas tahun berjalan.