REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono berkicau di akun twitter pribadinya, menanggapi usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi yang lolos di Paripurna DPR pada Selasa (23/6). SBY menegaskan menolak dana aspirasi.
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan menilai, pernyataan SBY tersebut bukanlah bentuk dari sebuah penolakan. Menurut Syarief, partai Demokrat tidak mempersoalkan UP2DP jika program tersebut dapat menjawab lima hal yang disebutkan SBY dalam kicauannya.
"Kalau itu tentu Demokrat tidak masalah," katanya di gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/6).
Syarief mengatakan, pemerintah dan DPR perlu membahas lebih jauh perihal program tersebut. Jika lima persyaratan itu dapat diperjelas oleh kedua belah pihak, lanjutnya, maka Demokrat tidak akan mempersoalkan program tersebut.
SBY pun, kata Syarief, tidak memberi mandat kepada anggota Fraksi Demokrat di DPR untuk menolak dana aspirasi. Hal tersebut mempertimbangkan ide dasar UP2DP yang sesungguhnya bermanfaat bagi rakyat.
"Pada prinsipnya setuju saja, begitu juga implementasinya di lapangan. Tapi lima itu harus dijernihkan dulu," ujarnya.
Meski begitu, anggota Komisi I DPR itu mengaku pesimistis UP2DP yang kemarin baru diparipurnakan DPR untuk dilanjutkan akan disetujui pemerintah. "Saya agak pesimis ini disetujui pemerintah, karena perekonomian Indonesia sekarang yang melemah," kata Syarief.
Sebelumnya, Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono melalui akun twitternya menyatakan bahwa pihaknya tegas menolak usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP).
"Perlu saya tegaskan, sikap Partai Demokrat tetap tidak setuju jika dana aspirasi tersebut diartikan sebagai 'jatah anggaran' anggota DPR untuk dapilnya," kata SBY melalui akun resmi miliknya, @SBYudhoyono, Selasa (23/6) malam.
SBY pun menyebutkan lima hal yang harus bisa dijawab oleh DPR dan pemerintah jika program tersebut ingin dianggap tepat. Pertama, bagaimana meletakkan "titipan" dana 20 milyar tersebut dalam sistem APBN & APBD, agar klop dan tidak bertentangan dengan rencana eksekutif.
Kedua, bagaimana menjamin penggunaan dana tersebut tidak tumpang tindih dengan anggaran daerah dan yang diinginkan oleh DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Poin ketiga, jika anggota parlemen memiliki dana aspirasi, bagaimana dengan anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota yang dinilai lebih tahu dan lebih dekat ke dapil.
Keempat, perbedaan antara eksekutif dan legisatif apabila anggota DPR punya jatah dan kewenangan untuk menentukan sendiri proyek dan anggarannya. "(Kelima) Bagaimana akuntabilitas dan pengawasan dana aspirasi itu, sekalipun dana itu tidak dipegang sendiri oleh anggota DPR?" ujar SBY.