REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak peninjauan kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terutama pasal 7 ayat 1 mengenai batas usia perkawinan dinilai tidak pro terhadap persoalan perempuan dan anak.
"Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, batas usia perkawinan perempuan tetap 16 tahun, usia yang sebenarnya masih tergolong anak," kata peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Muhadjir Darwin di Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, keputusan mayoritas anggota majelis hakim MK itu mengecewakan, karena anak perempuan di Indonesia yang belum mencapai usia 16 tahun bisa mendapatkan izin untuk menikah apabila mendapat dispensasi dari hakim pengadilan.
"UU Perkawinan memberi kelonggaran di dalam penerapannya. Hak prerogatif hakim itu sering dipakai untuk membenarkan pernikahan anak di bawah umur dengan alasan yang lemah," katanya.
Ia mengatakan Pasal 7 UU Perkawinan merupakan "pasal karet". Pada ayat 1 sudah diatur dengan jelas tentang batas usia perkawinan, tetapi pada ayat 2, hakim pengadilan justru diberi kewenangan untuk melanggengkan perkawinan, meskipun usia pihak perempuan masih di bawah batas usia perkawinan.
"Adanya kewenangan itu sebenarnya membuat batasan usia perkawinan tidak ada artinya," kata Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM ini.
Menurut dia, jika hakim pengadilan masih diberi keleluasaan seperti itu, UU Perkawinan secara terang-terangan tidak melakukan kontrol apa-apa terhadap perkawinan anak. "Artinya, negara pun dinilai tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perkawinan pada anak," katanya.
Ia mengatakan kewenangan hakim perlu ditinjau sebagai materi baru tuntutan ke MK. Jika tidak memungkinkan, poin itu penting pula dibahas oleh para anggota dewan dalam rencananya merevisi UU Perkawinan.
"Apa yang dipersoalkan bukan hanya batas usia perkawinan, tetapi juga pada leluasanya hakim memberikan dispensasi atau izin bagi perkawinan pada anak," katanya.
Selain kewenangan hakim, kata dia, yang juga penting untuk melindungi anak dari perkawinan adalah aspek legalitas. Aspek legalitas terkait dengan upaya penegakan hukum.
"Upaya untuk mengontrol perkawinan anak menjadi sulit ketika prosedur administrasi negara bukan menjadi faktor penentu utama bagi diterimanya suatu perkawinan oleh individu maupun masyarakat," kata Muhadjir.