REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002. Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lola Easter mengatakan, ada lima poin yang menjadi catatan penting ICW jika revisi benar dilakukan. Kelima poin tersebut, lanjutnya, dinilai justru akan melemahkan KPK.
"Kelima poin tersebut terkait pencabutan penyadapan, penghapusan kewenangan penuntutan, pembentukan dewan pengawas, memperketat rumusan kolektif kolegial, dan terakhir kewenangan mengeluarkan SP3 atau menghentikan penyidikan," kata Lola di kantor ICW, Jakarta, Ahad (21/6).
Lola mengatakan, kewenangan untuk melakukan penyadapan merupakan nilai lebih yang dimiliki oleh lembaga antirasuah tersebut. Jika kewenangan tersebut dihapuskan, lanjutnya, maka pengungkapan kasus besar akan sulit dilakukan. Begitu juga jika mekanisme penyadapan diatur terlalu ketat, misalnya dengan memasukan prosedur pelaporan ke hakim pengadilan negeri. Lola menyebut akan muncul kekhawatiran kebocoran informasi mengenai penanganan perkara korupsi jika hal tersebut benar diterapkan.
"Selama ini kita lihat kasus-kasus besar merupakan hasil dari penyadapan itu. Misal, Angelina Sondakh, itu buah dari tapping KPK," ujarnya.
Ia pun menilai mekanisme penyadapan masih dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut dikarenakan orang-orang yang disadap KPK memang kemudian terbukti terlibat dalam kasus korupsi dan diputus bersalah di pengadilan. "Jadi bicara abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) bisa dimentahkan. Itu sudah gugur karena pengungkapan-pengungkapan kasus oleh KPK," kata Lola.
Poin kedua, yakni penghapusan kewenangan penuntutan. ICW menilai, kewenangan satu atap untuk melakukan penyidikan sekaligus penuntutan yang tidak dimiliki lembaga independen lain menjadi ujung tombak yang mempercepat kinerja KPK.
Jika penyidikan dan penuntutan dipisah, lanjut Lola, dikhawatirkan malah akan memperlambat kinerja KPK.
"Kalau kita lihat mekanisme di kepolisian dan kejaksaan itu bolak balik dan lama. Itu (kewenangan satu atap) sebetulnya progres yang baik, kenapa dibawa mundur lagi. Harusnya penguatan KPK didorong, bukan melemahkan dengan pembagian kerja penyidikan dan penuntutan," ujarnya.
Poin ketiga, lanjut Lola, yakni pembentukan dewan pengawas. ICW menilai pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK tidak masuk akal. Menurut ICW, mekanisme kontrol yang diatur dalam UU yang sudah ada saat ini sudah cukup, yakni dari internal oleh Bagian Pengawasan dan Penasihat serta Komite Etik KPK. Sedangkan, eksternal yaitu DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan.
"Untuk apa lagi dewan pengawas? Apa kepentingannya. Kenapa tidak berdayakan fungsi yang ada. Jangan tumpang tindih dengan fungsi yang ada," ujarnya.
Wacana revisi untuk memperketat rumusan kolektif kolegial yang mengharuskan seluruh komisioner dalam setiap pengambilan keputusan pun dianggap ICW akan mempersulit KPK. ICW menilai, pemaknaan kolektif kolegial sebagai sebuah prinsip kebersamaan dan kesetaraan dalam berbagai proses, dan bukan mengisyaratkan jumlah. Hal tersebut dianggap akan mempersulit KPK karena pimpinan KPK juga memiliki fungsi lain dan tidak bisa terus berkumpul semuanya setiap saat.
Terakhir, yakni kewenangan untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). ICW menilai, jika kewenangan tersebut diberikan kepada KPK, maka akan sangat rawan untuk dijadikan lahan korupsi. Prestasi 100 persen conviction rate KPK yang berhasil membuktikan perkara korupsi di persidangan pun, kata Lola, bukan tidak mungkin akan menghilang. "Kalau kewenangan itu diberikan, jangan-jangan ini upaya menyamakan kinerja KPK dengan kepolisian dan kejaksaan," kata Lola.
"Oleh karena itu kami bersepakat UU KPK tidak patut direvisi. Kami betul-betul mempertanyakan apa urgensinya, ketika UU-nya sudah baik tapi malah direvisi dengan konten yang cenderung merugikan dan membonsai kewenangan KPK," ujarnya lagi.