Rabu 17 Jun 2015 15:13 WIB

Ada 39 Kecelakaan Pendakian Merapi Sejak 2013

Rep: C97/ Red: Ilham
 Sejumlah pendaki menaiki lereng Merapi menuju puncak Gunung Merapi untuk melihat pesona kawah dan matahari terbit di Gunung Merapi, Boyolali, Jawa Tengah, Ahad (17/8).  (Antara/Teresia May)
Sejumlah pendaki menaiki lereng Merapi menuju puncak Gunung Merapi untuk melihat pesona kawah dan matahari terbit di Gunung Merapi, Boyolali, Jawa Tengah, Ahad (17/8). (Antara/Teresia May)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sebanyak 39 kecelakaan pendakian Merapi terjadi sejak 2013. Koordinator Sekretariat Kelompok Studi Kawasan Merapi (KSKM), Nawa Murtiyanto mengatakan, ada peningkatan total kecelakaan dalam kegiatan pendakian tersebut.

 

"Tren kecelakaan di Merapi cenderung meningkat jika dibandingkan dengan masa sebelum erupsi 2010," ujarnya, Selasa (16/6).

Setidaknya dalam sebulan seorang pendaki tewas saat melakukan pendakian. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan. Mengingat penggemar kegiatan tersebut meningkat dari tahun ke tahun.

"Korban kecelakaan kebanyakan masuk usia produktif antara 20 hingga 25 tahun," tutur Nawa. Padahal pada usia tersebut, seharusnya pendaki telah memgetahui atau bisa memcari tahu tentang informasi keamanan. Sehingga bisa melakukan manajemen pendakian untuk mengurangi resiko kecelakaan. Namun sayangnya, hal tersebut cenderung diabaikan.

 

Saat ini, KSKM berencana untuk merumuskan pedoman keselamatan pendakian bagi masyarakat. Diharapkan upaya tersebut mampu menekan angka kecelakaan dalam pendakian dan kegiatan alam bebas lainnya. "Sebenarnya pedoman tersebut sudah diajarkan di komunitas pencinta alam. Namun sepertinya masyarakat belum banyak tahu," tutur Nawa.

KSKM akan melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan pedoman tersebut. Diantaranya pegiat kegiatan alam bebas, komunitas backpacker, dan kelompok pecinta alam di DIY.

Direktur PT Risk Control Indonesia, Haryoko R. Wirjosoetomo mengatakan, kecelakaan pendakian biasanya dilatarbelakangi oleh lingkungan kegiatan yang tidak aman, kondisi kegiatan, serta perlengkapan, dan peralatan pendakian yang tidak memenuhi standar keamanan.

Menurutnya, faktor human eror selalu menjadi kontributor terbesar dalam kecelakaan pendakian. "Jika dipetakan, 87 persen resiko itu disebabkan perilaku, 11 persen karena kodisi yang beresiko, dan 2 persen muncul dari faktor alam," papar Haryoko. Adapun faktor pelaku yang dimaksud seperti melanggar batas keamanan alam.

Sedangkan kondisi beresiko, seperti pendaki tidak ideal kondisi fisiknya, tapi tetap memaksakan diri. Sehingga menimbulkan kecelakaan dalam perjalanan. Sementara penyebab alamiah cenderung terjadi saat pendakian dilakukan pada cuaca yang tidak kondusif, seperti badai angin. "Kecelakaan dalam pendakian masih mungkin terjadi meskipun pendaki sudah melakukan persiapan yang matang. Untuk itu, perlu adanya pemahaman yang baik dari pendaki itu sendiri sehingga dapat mengurangi resiko kecelakaan," papar Haryoko.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement