REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menilai penunjukan Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN) oleh Presiden Jokowi telah dipandang publik sebagai sebuah kompromi politik.
"Tidak bisa tidak, publik memandangnya sebagai kompromi politik, karena hanya PKPI partai yang belum mendapatkan 'jatah' oleh pemerintahan Jokowi," ucap Hamdi Muluk di Jakarta, Selasa (16/6).
Hamdi Muluk mengatakan penunjukan Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, yang merupakan mantan pangdam Jaya, sebagai kepala BIN adalah hak prerogatif presiden. Namun, dia memandang setidaknya ada dua hal yang kini dipermasalahkan publik atas penunjukan sosok Sutiyoso.
Dua persoalan itu adalah masalah usia dan latar belakang Sutiyoso sebagai orang partai.
Menurut Hamdi, dari segi usia, Sutiyoso tidak bisa dikatakan muda lagi, sementara masih ada orang yang nisbi lebih muda dan lincah. Sedangkan dari latar belakangnya, menurut Hamdi, baru kali ini Kepala BIN dijabat oleh orang partai politik.
"Itu dua hal krusial yang dipersoalkan publik. Dunia intelijen ini merupakan kepentingan nasional, maka sebaiknya memang Kepala BIN jangan dari orang partai politik sehingga bisa terbebas dari kepentingan politik," ujarnya.
Hamdi mengusulkan agar setiap jabatan publik dapat dijabat orang berusia produktif. Sebab kelincahan performa serta ilmu terkini, cenderung dimiliki orang berusia muda.
Meskipun demikian, Hamdi Muluk meminta seluruh pihak menghormati penunjukkan Sutiyoso sebagai kepala BIN karena merupakan hak prerogatif Presiden Jokowi. Publik menurut dia, dapat melakukan pengawasan atas kinerja Sutiyoso kelak apabila telah dilantik.
Hamdi juga turut mengusulkan agar Sutiyoso dapat memperkuat BIN dengan menunjuk para deputi BIN yang kredibel dan bisa menghadapi tantangan dunia intelijen ke depan.
Di sisi lain, penunjukan Sutiyoso sebagai Kepala BIN juga dipersoalkan oleh kalangan aktivis prodemokrasi dan hak asasi manusia. Mantan pangdam Jaya era orde baru itu dipandang memiliki catatan sejarah kelam yang belum tuntas.
Gabungan aktivis prodemokrasi dan hak asasi manusia yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Untuk Reformasi Intelijen menyatakan trauma dan khawatir Sutiyoso akan menggunakan pendekatan zaman orde baru dalam dunia intelijen.
"Kami kalangan aktivis trauma kalau Pak Sutiyoso nanti 'main ciduk' seperti zaman Orde Baru," imbuh juru bicara Aliansi Masyarakat Untuk Reformasi Intelijen, Muhammad Adnan, di Jakarta, Selasa.
Adnan memandang sedikitnya ada lima alasan para aktivis menolak penunjukan Sutiyoso sebagai kepala BIN.
Pertama, sebagai Ketua Umum PKPI, posisi Sutiyoso menjadi sangat hitam putih dan afiliatif. Sementara BIN merupakan lembaga yang memiliki kerahasiaan tinggi dan seharusnya lepas dari intervensi politik.
Kedua, para aktivis memandang Sutiyoso selaku Pangdam Jaya memimpin langsung penyerbuan ke Markas Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Megawati pada tahun 1996 yang kemudian dikenal dengan peristiwa Kerusuhan 27 Juli (peristiwa Kudatuli). Saat ini status Sutiyoso dinilai masih tersangka dalam kasus itu.