Rabu 27 May 2015 04:16 WIB

Perintah Peghentian Perkara Bertentangan dengan UU KPK

Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Putusan hakim yang memerintahkan penghentian penyidikan kasus mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo dinilai melanggar Undang-undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Putusan (praperadilan) jelas mengatakan memerintahkan KPK menghentikan penyidikan bertentangan pasal 40 UU No 30/2002 yang menyatakan KPK tidak berwenang melakukan penghentikan dan penuntutan. Bolehkah putusan peradilan bertentangan dengan UU?" kata pelaksana tugas (plt) Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Selasa.

Hakim tunggal Haswandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari ini memenangkan gugatan praperadilan Hadi Poernomo dan menyatakan tidak sah surat perintah penyidikan KPK yang menetapkan Hadi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA, Tbk tahun pajak 1999.

Isi pasal 40 UU 30 tahun 2002 tentang KPK adalah "Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi".

"Putusan hakim praperadilan telah melampaui permohonan pemohon yang disebut ultra petita dan bertentangan dengan UU serta memiliki implikasi luas baik penegakan hukum maupun bagi pemberantasan korupsi," tegas Ruki.

Menurut Ruki, Hadi hanya menyatakan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Hadi tidak sah tapi malah memerintahkan penyidikan KPK terhadap kasus tersebut dihentikan.

"Pernyataan yang pengatakan penyidik dan penyelidik di luar Polri tidak sah. Sebagaimana diketahui untuk menyatakan sah atau tidak adalah masuk masalah administrasi dan bukan wewenang praperadilan," ungkap Ruki.

Dikabulkannya permohonan praperadilan Hadi didasarkan pada pertimbangan bahwa proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum karena dilakukan oleh penyelidik dan penyidik independen yang pengangkatannya tidak sah.

"UU tidak memberikan peluang pada KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen," ujar hakim Haswandi.

Hakim dalam amar putusannya menjelaskan bahwa penyelidik dan penyidik KPK sesuai dengan Pasal 45 dan Pasal 46 UU KPK haruslah berstatus sebagai penyelidik atau penyidik di instansi sebelumnya baik itu Polri atau Kejaksaan.

Sedangkan penyelidik dalam kasus Hadi yaitu Dadi Mulyadi dan dua penyelidik lainnya, bukan merupakan penyelidik sebelum diangkat menjadi penyelidik KPK.

Sementara itu Ambarita Damanik, penyidik yang menangani kasus Hadi, merupakan penyidik Polri yang sudah diberhentikan secara hormat dari institusi Polri pada 25 November 2014. Dengan pemberhentian tersebut, hakim berpendapat bahwa Ambarita juga sudah kehilangan status penyidik yang melekat pada dirinya sehingga segala tindakan penyidikan yang dilakukan olehnya dianggap batal demi hukum.

"Maka anggota Polri yang telah pensiun atau berhenti tidak melekat status penyidik ataupun penyelidik. Jika anggota Polri yang telah pensiun ingin diangkat menjadi penyelidik ataupun penyidik maka harus diangkat sebagai PPNS pada KPK," kata hakim Haswandi

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement