REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo diminta tidak gegabah dalam memilih anggota panitia seleksi (pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemilihan figur yang akan mengisi pansel KPK tak kalah penting dari memilih pimpinan KPK itu sendiri. Sebab, pemilihan pansel akan menentukan nasib agenda pemberantasan korupsi ke depan.
Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai, integritas dan kredibilitas anggota pansel sangat menentukan kualitas pimpinan KPK yang dihasilkan.
Jika pansel KPK disusupi figur yang tidak pro terhadap KPK dan semangat pemberantasan korupsi, maka sulit bagi masyarakat untuk berharap pada pimpinan KPK yang dihasilkan.
"Presiden perlu diingatkan salah memilih anggota pansel, masa depan KPK dan agenda pemberantasan korupsi akan terancam," kata Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring ICW, Emerson Yuntho, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, di gedung KPK, Senin (18/5).
Menurutnya, dari nama-nama yang beredar luas di publik, masih ada beberapa figur yang dinilai bisa mengganggu kinerja pansel.
Sebab, kata dia, reputasinya dianggap tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Yang bersangkutan menggunakan keahlian yang dimiliki untuk membela tersangka korupsi.
Namun, Emerson enggan menyebut siapa figur yang dimaksud. Dia hanya menyampaikan nama-nama yang beredar luas di publik.
Mereka yakni Saldi Isra, Zainal Arifin Mochtar, Jimly Asshiddiqie, Tumpak Panggabean, Erry Riyana Hardjapamekas, Refly Harun, Oegroseno, Chairul Huda, Abdullah Hehamahua, Romli Atmasasmita, dan Margarito Kamis.
Dalam UU KPK, syarat atau kriteria anggota pansel KPK memang tidak disebutkan. Namun, menurut Emerson, setidaknya harus memiliki kriteria yakni tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Kemudian cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik.
Artinya, tidak pernah tersangkut dalam perkara korupsi dan belum pernah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa atau terpidana perkara korupsi.