Sabtu 09 May 2015 14:42 WIB

Mafia Migas Rugikan Pertamina

 Massa dari Aliansi Mahasiswa Unpad menduduki kendaraan pengangkut BBM Pertamina yang melintas ketika melakukan aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Sumedang, Jabar, Senin (30/3). (Antara/Fahrul Jayadiputra)
Massa dari Aliansi Mahasiswa Unpad menduduki kendaraan pengangkut BBM Pertamina yang melintas ketika melakukan aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Sumedang, Jabar, Senin (30/3). (Antara/Fahrul Jayadiputra)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan Pertamina merugi dalam hal pengadaan dan tender. Faktor pertama, ada trader perantara yang selalu dimenangkan dan diduga mafia migas.

Selain itu, Pertamina juga kerap merugi akibat adanya kesalahan dalam inventory manajemen. "Tidak bisa memperkirakan harga. Selalu beralasan beli diharga tinggi lalu menjual dengan harga rendah. Nah kerugian tadi itu akibat manajemen Pertamina sendiri," ujar anggota tim RTKM Fahmi Rahdi kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (8/5).

Pada 23 Februari 2015, unit usaha PT Pertamina (Persero) yakni Integrated Supply Chain (ISC) mengundang tender LPG yang terdiri atas Butane dan Propane untuk loading bulan April 2015 dengan spot total 44.000 mt. ISC-Pertamina menunjuk Total sebagai pemenang tender yang jelas melakukan pricing untuk bulan Maret yang seharusnya bulan April 2015. Potensi kerugian tersebut mencapai Rp 5,2 miliar.

Fahmi pun mendorong penegak hukum untuk segera mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan negara itu. "Saya kira BPK atau KPK harus masuk melakukan audit investigasi. Apakah ini kesalahan manajemen atau apa. KPK harus masuk, atau Bareskrim Polri untuk melakukan penyidikan," ujarnya.

Sebab, dari data yang dipegang Fahmi, menunjukan ISC-Pertamina dengan Vice President (VP) Daniel Purba telah memenuhi delik korupsi berdasarkan Undang-undang karena perbuatan melawan hukum, yakni memilih pemenang tender LPG tidak berdasarkan TOR yang diumumkan sebelumnya. Selain itu, Perusahaan dan negara mengalami kerugian 400 ribu dolar AS atau setara Rp 5,2 miliar.

"Supaya terang ini kesalahan manajerial atau memang ada unsur korupsi. Kalau manajerial dicopot kalau ada tipikornya yah di jalur hukum. Ini kan kerugian Pertamina, nanti akan jadi kerugian negara. Nanti kalau begitu menutupinya dengan mengorbankan konsumen, menaikan harga. Rakyat korbannya," ujarnya.

Guru besar hukum bisnis dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Ridwan Khairandy mengatakan, seharusnya penegak hukum yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau pun Bareskrim Polri masuk untuk menesilik pelanggaran yang dilakukan oleh ISC Pertamina itu.

"Iya, itu jelas ada pelanggaran, karena kan ada perjanjian (tender bulan April, tapi malah menunjuk Maret). Itu jelas ada pelanggaran pidana," kata Prof Ridwan ketika berbincang dengan wartawan.

Apalagi, sambung dia, jelas-jelas ICS mengadakan tender bulan April, tapi malah merestui Total yang mengajukan pada Maret.  "Itu seharusnya dibatalkan, kan ada surat perjanjian," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement