REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demi mempertahankan Golkar, Ketum versi Munas Bali, Aburizal Bakrie (Ical) diharapkan meninggalkan posisinya. Dia disarankan untuk lebih aktif dalam kegiatan lain.
"Pendahulunya seperti Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, bisa bersikap legawa. Golkar kemudian mengalami kaderisasi," imbuh Pakar Politik Universitas Padjajaran, Muradi, saat dihubungi, Jumat (8/5). Jejak ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemimpin Golkar yang lain.
Pihaknya menyayangkan kondisi Golkar yang mengalami perpecahan. Hal ini berdampak negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Golkar yang bukan partai baru tentu memiliki sistem regenerasi dan kaderisasi yang baik. Namun karena adanya kepentingan individual Ical, Golkar akhirnya mengalami keterpurukan.
Muradi menjelaskan keterpurukan itu disebabkan sikap ngotot Ical untuk kembali memimpin Golkar. Dasarnya dinilai bukan karena ingin membangun aspirasi rakyat, tetapi lebih karena adanya keinginan personal terkait korporasi yang dibesarkannya.
Sementara itu, kader Golkar yang sudah berjuang untuk membesarkan partai tidak terima dengan sikap Ical ini. Sebabnya, hal tersebut mengancam kaderisasi partai. Mereka akhirnya melawan dengan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).