REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia menilai tata kelola keuangan pemerintah daerah yang sering menimbulkan pelanggaran hukum, masih menjadi masalah serius. Persoalan tersebut dinilai mendesak harus segera dibenahi sebelum upaya-upaya mengoptimalkan penggunaan keuangan daerah lainnya.
"Jadi, laporan keuangan kita masih bermasalah dalam hal tata kelola, belum sampai ke upaya penggunaannya untuk kesejahteraan rakyat. Padahal, jelas di Undang-Undang Dasar, selain tata kelola, keuangan negara juga harus untuk kemakmuran rakyat," kata Ketua BPK RI Harry Azhar Azis di Universitas Sumatera Utara, Medan, Senin (4/5).
Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK periode terakhir, kata Harry, sebanyak 156 dari 524 pemerintah daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian. Angka yang fantastis, kata dia, adalah terdapat 280 pemerintah daerah yang laporan keuangannya harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Parahnya, terdapat pemda yang menganggap uang negara itu uang dari nenek moyangnya. Mereka terus minta ke bendahara. Namun, penggunaannya entah," kata dia.
Saking banyaknya temuan indikasi penyalahgunaan keuangan negara yang dilaporkan ke KPK, kata Harry, sebanyak 60 persen dari total kasus yang ditangani komisi antirasuah itu berasal dari laporan BPK.
"Itu dari data yang dibilang Taufiqqurahman Ruki (Plt. Pimpinan KPK)," kata Harry.
Seharusnya, dengan total aset pemda yang mencapai Rp 2.006 triliun, program-program pembangunan di daerah sudah menunjukkan peningkatan kemakmuran rakyat. Menurut Harry, upaya optimalisasi keuangan negara untuk program kemakmuran rakyat masih relatif sangat panjang.