REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mengatakan reaksi yang ditunjukkan negara lain pascaeksekusi delapan terpidana mati kasus narkoba merupakan ujian bagi konsistensi pemerintah Indonesia dalam menegakkan hukum.
"Reaksi sejumlah negara adalah ujian konsistensi bagi pemerintah, konsisten saja sambil benahi sistem hukum dan mekanisme penegakan hukum," katanya, Rabu (29/4).
Dia mengatakan komunikasi antara pemerintah Indonesia dengan negara asal terpidana mati harus berjalan dengan baik. Hal itu menurut dia terkait dengan manajemen risiko yang harus dikelola dengan baik oleh pemerintah Indonesia terkait kebijakan hukuman mati.
"Komunikasi harus dijaga, ini soal manajemen resiko yang harus dikelola baik," ujarnya.
Selain itu menurut dia penundaan eksekusi mati terhadap Warga Negara Filipina, Mary Jane telah membuat pemerintah membuka celah tekanan semakin besar. Hal itu menurut dia terlepas dari apapun alasan pemerintah Indonesia menunda eksekusi Mary Jane tersebut.
"Satu kritik saya adalah jangan lakukan penegakan hukum dengan pendekatan drama, riuh namun kita tidak siap hadapi reaksi penonton," katanya.
Kejaksaan Agung pada tahap pertama eksekusi mati telah mengeksekusi mati 6 terpidana pada 18 Januari 2015. Keenam orang tersebut, yakni Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brasil), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), dan Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda).
Pada eksekusi tahap kedua telah dieksekusi mati delapan pada Rabu (29/4) dini hari yaitu Myuran Sukumaran (WN Australia), Andrew Chan (WN Australia), Martin Anderson (WN Ghana), Raheem Agbaje (WN Nigeria), Zainal Abidin (WN Indonesia), Rodrigo Gularte (WN Brasil), Sylvester Obiekwe Nwolise (WN Nigeria), dan Okwudili Oyatanze (WN Nigeria).