Selasa 14 Apr 2015 13:56 WIB

Kebijakan DKI Kerap tak Sinkron, Pengamat: Ahok Seperti Superbody

Gubernur DKI Jakarta Ahok.
Foto: Antara
Gubernur DKI Jakarta Ahok.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejumlah kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengundang pertanyaan seputar legalitas atau dasar hukum. Lantaran tidak sinkron dengan peraturan yang ada di atasnya.

Hal itu dikhawatirkan bisa menjadi contoh buruk bagi tata kelola pemerintah daerah yang mengamputasi kekuatan Undang-undang, Ketetapan MPR juga peraturan pemerintah.

“Mereka (para kepala daerah) akan mencari-cari juga aturan apa yang bisa dilanggar seperti yang dilakukan untuk mempercepat pembangunan atau apa yang dia kira pikir bagus untuk daerahnya dengan mengabaikan aturan yang lebih tinggi,” ujar Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur Faisal Santiago, dalam rilisnya, Selasa (14/4).

Sesuai aturan, menurut Faisal, seorang kepala daerah memang boleh kreatif dengan membuat kebijakan untuk percepatan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Namun, secara prinsip tidak boleh melanggar aturan atau norma undang-undang yang berada di atasnya.

Dia mengakui jika kinerja Ahok sangat bagus dengan menggunakan kreativitasnya membangun Jakarta.

“Tapi kalau kerjanya bagus, tapi etika seorang pemimpin tak dijaga, ya percuma. Dia menjadi seperti superbody sekarang ini, seolah-olah tidak bisa tersentuh oleh hal-hal terkait aturan main,” paparnya.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna berpendapat serupa. Dia menyatakan kebijakan yang diambil Pemprov DKI harus selalu mengacu pada aturan yang lebih tinggi.

Jika kebijakan yang diambil dianggap menyalahi maka bisa dikenakan sanksi dan aturan itu harus dicabut. Namun tentunya, menurut dia, harus ada gugatan dari pihak yang merasa dirugikan.

"Tapi harus ada yang menggugat terlebih dahulu. Kalau tidak (atau dibiarkan) maka dianggap tidak ada masalah," katanya.

Yayat mengatakan gugatan yang diajukan publik harus cermat dengan menyertakan hal-hal apa saja yang dianggap merugikan penggugat.

Salah satu contoh kebijakan Ahok yang kontroversial adalah melegalkan minuman keras (miras) yang bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.

Ahok berpendapat bir bukan termasuk minuman keras. Hal itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol yang berlaku per 16 April 2015.

Pemprov DKI Jakarta bahkan memiliki saham 26,25 persen BUMD PT Delta Djakarta, Tbk yang memproduksi minuman beralkohol sebagai pemegang lisensi produksi beberapa merek bir internasional, seperti Anker Bir, Carlsberg, San Miguel, dan Stout.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement