REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penyandang disabilitas, atau dalam bahasa sehari-hari disebut penyandang cacat, sering mendapat stigma (cap buruk). Dia kerap dianggap sebagai anggota masyarakat yang tidak produktif. “Penyandang disabilitas juga kerapkali dipandang sebagai beban oleh anggota masyarakat lainnya,” kata Tri Irwanda dari Bengkel Komunikasi, Bandung, Rabu (8/4).
Kondisi serupa, kata dia, juga dialami oleh penyandang disabilitas dari kelompok usia anak-anak. Menurutnya, anak dengan disabilitas belum mendapatkan kesempatan yang cukup untuk mendapatkan hak-hak dasarnya, seperti pendidikan dan kesehatan.
“Minimnya fasilitas khusus yang disediakan pemerintah juga membuat peluang mereka kecil dalam mengakses layanan publik seperti fasilitas olah raga, fasilitas rekreasi dan bermain,” ujarnya.
Pada sisi lainnya, perlu diakui, kurangnya kesadaran masyarakat, termasuk keluarga, menjadi salah satu tantangan besar dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi kepada anak dengan disabilitas. Kata Tri, tidak jarang, di perkotaan sekalipun, masih terdengar anak dengan disabilitas yang ditelantarkan oleh keluarganya.
“Masih banyak keluarga yang merasa malu memiliki anak dengan disabilitas sehingga mereka disembunyikan,” kata dia.
Karena itu, Bengkel Komunikasi, sebuah lembaga yang aktif dalam kajian komunikasi dan sosial, melalui dukungan IKEA Foundation dan Save the Children menggelar temu media tentang pentingnya peran keluarga dalam pemenuhan hak dasar anak dengan disabilitas. Temu Media ini menjadi salah satu agenda dalam menyebarluaskan ide ‘Kesetaraan Hak dan Kesempatan bagi Anak dengan Disabilitas’ kepada publik.
Temu media akan diselenggarakan pada Kamis (9/4) bertempat di The Little White Café, Jl. Lodaya No. 11 A, Bandung. Adapun narasumber yang akan memaparkan materinya berasal dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, Forum Komunikasi Keluarga Anak dengan Disabilitas Kota Bandung, dan ‘ Save the Children’.