Senin 06 Apr 2015 21:50 WIB

Nasib Nelayan Tradisional Makin Terpuruk

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Angga Indrawan
Sebuah perahu nelayan bersiap sandar di Pelabuhan Jongor, Tegal, Jateng, Senin (26/1).
Foto: Antara
Sebuah perahu nelayan bersiap sandar di Pelabuhan Jongor, Tegal, Jateng, Senin (26/1).

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Nasib ribuan nelayan tradisional di Kabupaten Indramayu, masih memprihatinkan. Tak hanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), lahirnya sejumlah peraturan di era kepemimpinan Jokowi-JK juga membuat nasib mereka kian terpuruk.

"Nasib nelayan tradisional saat ini masih sangat terpuruk," ujar Ketua Serikat Nelayan Tradisional (SNT), Kajidin, kepada Republika, Senin (6/4).

Kajidin mengatakan, kenaikan harga BBM telah membuat biaya perbekalan melaut ikut melambung. Meski harga BBM pernah turun, namun harga kebutuhan perbekalan melaut tak ikut turun.

Di sisi lain, lanjut Kajidin, nelayan juga semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan, terutama rajungan dan kepiting. Hal itu menyusul lahirnya Permen KP Nomor 1 Tahun 2015 tentang Larangan Penangkapan dan Ekspor Lobster, Kepiting dan Rajungan Telur.

Saat peraturan itu belum ada, terang Kajidin, nelayan tradisional di Kabupaten Indramayu biasa menangkap rajungan dengan hasil dua sampai tiga kilogram dan kepiting dua sampai tiga ekor per hari. Rajungan itu dijual dengan harga Rp 50 ribuan/kg dan kepiting Rp 100 ribuan/kg.

"Rajungan dan kepiting dihargai mahal karena untuk diekspor," tutur Kajidin.

Namun sejak aturan itu ada, rajungan dan kepiting hasil tangkapan nelayan menjadi tak laku. Akibatnya, harganya turun drastis hingga sekitar 70 persen dari harga semula.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement