REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa daerah di Indonesia rawan longsor. Jika tidak melakukan langkah antisipasi yang tepat, bukan tidak mungkin banyak masyarakat yang menjadi korban. Baik korban tewas, luka-luka, maupun rumah rusak.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, pihaknya sudah memasang 40 Early Warning System (EWS) di daerah rawan longsor di Indonesia. Dari 40 EWS tersebut terpasang di Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing 20 unit. Namun, Sutopo tidak menjelaskan secara lengkap terkait pemasangan EWS.
Sutopo menuturkan, tidak semua daerah rawan longsor di Indonesia dipasang EWS. Sebab, jika semua daerah rawan harus dipasang EWS maka membutuhkan ratusan bahkan ribuan alat pendeteksi tersebut.
“Anggaran terbatas. Untuk itu Pemda juga harus menganggarkan. Jangan semuanya menggantungkan pemerintah pusat,” ujar Sutopo kepada Republika, Ahad (29/3).
Alat tersebut, Sutopo menjelaskan, tidak terlalu mahal. Universitas Gadjah Mada (UGM) lanjut Sutopo sudah mengembangkan alat tersebut denga satu paket Rp 300 juta yang terdiri dari EWS longsor, sosialisasi, peta rawan longsor. Disamping itu, ditambah dengan gladi, membentuk kelompok di masyarakat serta pelatihan.
Namun yang penting, menurut Sutopo dalam penanganan bencana longsor yaitu tata ruang.
Peta rawan longsor di Indonesia sudah ada namun bagaimana saat ini bisa menterjemahkan dalam rencana tata ruang wilayah dan penegakan hukum.
Sebelumnya, 12 korban tewas akibat longsor di Kampung Cimerak, Desa Tegal Panjang, Kecamatan Cireunghas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Baratditemukan. Dua orang korban terakhir ditemukan pukul 17.32 WIB setelah sebelumnya ditemukan 10 korban tewas. Rahmat Fajar