REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang kedua surat dari Himpunan Masyarakat Adat Pulau-Pulau Rempang Galang (Himad Purelang) sebanyak 11 lembar dikirimkan bersamaan dengn unjuk rasa hari ke-4 di kantor Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Ferry Mursyidan Baldan pada Rabu (25/3).
Hingga kini, sudah 22 lembar surat terkait dengan pendaftaran tanah negara eks penunjukan hak pengelolaan lahan (HPL) Otoritas Batam (OB) yang dimohonkan menjadi surat hak milik (SHM) ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Sekretaris Umum Himad Purelang Janner Sinaga mengatakan, pihaknya akan terus melakukan aksi hingga Senin (30/3) mendatang. Atas rencana itu, pihaknya akan memasukkan 100-an lembar surat guna menanyakan hal itu kepada PPID.
"Semoga dengan menggunakan metode seperti itu, seperti yang diatur Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) maka jawaban yang selama ini tidak pernah direspon akan diberikan," katanya di Jakarta.
Jika tidak juga ada jawaban, lanjut Janner, sesuai dengan ketentuan maka terhitung sejak masuk surat sampai 14 hari kerja maka pihaknya mendaftarkannya menjadi gugatan informasi publik ke Komisi Informasi Pusat (KIP).
Dengan begitu, biar Majelis Komisioner (MK) KIP yang memeriksa mengapa 400-an lembar surat pendaftaran SHM yang disertai masing-masing delapan sampai 10 lembar lampiran belum direspon Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Apalagi, ia melanjutkan, sudah sejak 2008 hingga 2014, langkah mengajukan audiensi secara kontinyu terus dilakukan "Semoga majelis tersebut bisa dengan detail menemukan apa sesungguhnya penyebab hal itu. Tentu sidang dan putusannya akan terbuka apalagi dipublikasikan KIP didalam websitenya. Itu tentu akan membantu masyarakat lainnya yang mengalami hal yang sama dengan kami," ujar Janner.
Himad Purelang berharap, jika memang ada penyebab lambatnya pemrosesan, alasan itu bisa dituangkan dalam keputusan sidang KIP. "Sehingga itu bisa menjadi bahan alat bukti bagi kami untuk menempuh upaya hukum lainnya termasuk tentunya mendatangi kembali Komisi II DPR yang telah mempanjakan persoalan ini pada 2013 lalu."