REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Ni'matul Huda berpendapat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki hak prerogatif untuk menegur, bahkan memberhentikan menteri-menteri yang membangkang. Hal ini, kata Ni'matul, jelas diatur dalam Undang-Undang Dasar pasal 17.
Pendapat itu disampaikan Ni'matul terkait rencana Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) melanjutkan wacana remisi koruptor meski ditolak Jokowi. "Walaupun dia (Yasonna) kedudukannya di PDI Perjuangan mungkin lebih tinggi dibanding Jokowi, tapi dalam tata pemerintahan Yasonna tetap pembantu," ungkap Ni'matul pada ROL, Senin (23/3).
Jika tidak ingin taat pada Presiden, lanjut Ni'matul, menteri itu dipersilahkan berhenti. Ia menyarankan Jokowi mengambil tindakan terkait sikap Yasonna tersebut.
Agar mengganggu jalannya pemerintahan. "Masih banyak orang yang berkualitas dibanding Yasonna," tambah Ni'matul.
Sebelumnya, Yasonna Laoly mengatakan, wacana pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor tak akan berhenti. Baginya, hal itu merupakan bagian dari usaha untuk memperbaiki sistem peradilan pidana.
Saat ditanya persetujuan Presiden terkait hal ini, Yasonna justru berkilah. Menurutnya, wacana pemberian remisi tetap jalan terus. "Itu sudah diwacanakan, jadi konsepnya itu bukan mengurangi tapi memperbaiki sistemnya," ujarnya.