Rabu 18 Mar 2015 19:32 WIB

Remisi Koruptor, KPK: Maksud Menteri yang Baru Ini Apa?!

Plt Pimpinan KPK Johan Budi.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Plt Pimpinan KPK Johan Budi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana Tugas (plt) pimpinan KPK Johan Budi menyatakan hukuman bagi koruptor jangan disamakan dengan maling ayam.

"Karena korupsi itu 'extra ordinary crime', sehingga harus diperketat, jangan disamakan dengan maling ayam," kata Johan melalui pesan singkat, Rabu (18/3).

Hal itu disampaikan terkait dengan rencana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly yang berniat merevisi Peraturan Pemerintah (P)) 99/2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat (PB) untuk terpidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan HAM berat serta kejahatan transnasional yang terorganisasi.

Dalam PP tersebut dinyatakan untuk narapidana korupsi dapat diberikan remisi dengan syarat turut membantu penegak hukum untuk membongkar kejahatannya (whistle blower), dan telah membayar lunas uang pengganti serta denda sesuai dengan perintah pengadilan.

Namun, Yasonna menilai PP tersebut diskriminatif mengingat pemberian remisi kepada narapidana harus memperoleh persetujuan KPK atau kejaksaan sebagai pihak penyidik dan penuntut.

"Maksud menteri yang baru ini apa? Mengembalikan domain itu ke Kemenkumham saja atau maksudnya merevisi agar semua narapindana mendapat remisi? Kalau maksud Menkumham pilihan kedua, menurut saya kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi," tambah Johan.

Menurut Johan, juga terjadi miskomunikasi antara KPK dan Kemenkumham.

"Ini ada miskomunikasi. Bagi KPK, remisi itu domainnya dari Kemenkumham, begitu juga saat jadi narapidana. Tapi dalam PP, ada mekanisme KPK dimintai rekomendasi. Apakah orang itu 'justice collabolator' (JC) atau pelaku utama. Tidak hanya terhadap KPK, kejaksaan dan polisi juga ikut memberikan rekomendasi pembebasan bersyarat," ungkap Johan.

Menurut Yasonna, semua narapidana punya hak yaitu pembebasan bersyarat, pendidikan dan pelayanan. Yasona mengungkapkan filosofi pembinaan tidak lagi pembalasan maupun pencegahan melainkan perbaikan tindakan, sehingga bila seseorang sudah dinyatakan bersalah dan diputus pidana penjara maka selesailah fungsi penghukuman dan beralih ke fungsi rehabilitasi atau pembinaan. Pemberian remisi sendiri sudah diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement