REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly meminta agar hak para narapidana kasus korupsi tidak dihilangkan. Hak yang dimaksud adalah hak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Ia pun mengajak semua pihak untuk bersama-sama membenahi sistem yang mengatur terkait hal ini.
"Jangan hilangkan hak dia sebagai napi. Kita koreksi sistem ini," kata Yassona di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/2).
Menurutnya, hak narapidana koruptor tak perlu dihilangkan. Namun, cukup dengan memberatkan hukuman yang dijatuhkan.
"Saya katakan kalau mereka memang mau diberatkan, beratkan pada hukuman. Misalnya ada napi koruptor tak mau berkorporasi itu jadi alasan memperberat hukuman, jadi hakimlah yang memperberat hukumannya," terang Yassona.
Ia pun menyarankan, lebih baik hukuman yang diberikan pada napi koruptor diperberat, misalnya dengan mewajibkan koruptor membayar denda serta dilakukannya penyitaan.
"Jadi, lebih baik kita buat hukuman yang sifatnya mengambil misalnya hukumannya Rp2 miliar harus dibayar, disita, ditambah pemberatan berapa milyar. Hukuman badannya tetap jalan," tambah dia.
Yassona mengatakan saat ini pihaknya masih mengkaji kembali PP 99/2012. Sehingga, lanjutnya, peraturan ini tidak menimbulkan diskriminasi narapidana.
Proses pembinaan dengan memberikan remisi terhadap napi koruptor yang berkelakuan baik ini, tambah Yassona, nantinya justru akan lebih bermanfaat.
"Saya jauh-jauh sekolah kebetulan ini bidang saya, saya paham betul filosofinya," ujar dia.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly menjamin narapidana kasus korupsi akan mendapat hak yang sama dengan narapidana kasus lainnya. Yakni berupa pemberian hak remisi atau pembebasan bersyarat.
Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengatur narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotika tak bisa mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat. Sehingga, para koruptor yang divonis setelah tahun 2012 pun tak berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.