REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar menilai kasus "payment gateway" yang menjerat Denny Indrayana bukan tergolong kasus korupsi.
"Membaca data-data yang ada rasanya bukan kasus korupsi," katanya.
Ia menjelaskan dalam konteks sistem pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui "payment gateway" atau jasa elektronik dalam pembuatan paspor, mantan Wakil Menkumham itu hanya melakukan terobosan dari sistem pembayaran sebelumnya.
"Yang dilakukan Denny merupakan terobosan karena sebelumnya pembayarannya harus mengantre," ujarnya.
Selanjutnya, dikenainya pungutan Rp5.000 kepada setiap pengguna "payment gateway", menurut dia, merupakan konsekuensi karena upaya itu bekerja sama dengan pihak bank.
Apalagi, layanan dengan pungutan Rp5.000 tersebut juga bersifat opsional, sehingga masyarakat dapat menggunakan pembayaran pembuatan paspor melalui jasa elektronik itu, atau memilih mengantre seperti sebelumnya.
"Karena bekerja sama dengan bank, tentu harus ada biaya Rp5.000. Itulah yang dianggap korupsi," jelasnya.
Dia mengatakan persoalan Denny tersebut sesungguhnya hanya tergolong pelanggaran administratif dengan melanggar Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu).
"Melanggar karena membayar tidak dengan yang dianjurkan," ucapnya.
Seperti diketahui, Denny Indrayana dilaporkan ke Bareskrim Polri karena diduga menyelewengkan implementasi payment gateway dalam program sistem pelayanan paspor terpadu online yang dibuatnya.
Dalam implementasi payment gateway Juli-Oktober 2014, terdapat nilai selisih dari pengurusan paspor yang tak disetorkan ke negara sebanyak Rp 32 miliar.
Kelebihan pungutan tersebut justru masuk ke dua vendor dan tak langsung disetorkan ke bank penampung. Mabes Polri mengatakan saat ini laporan tersebut sudah masuk dalam tahap penyidikan.