REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- 36 ribu Bantuan Polisi Satuan Polisi Pamong Praja (Banpol Satpol PP) seluruh Indonesia masih berstatus non PNS. Mereka meminta pemerintah pusat membuat peraturan yang jelas terkait mekanisme perekrutan Satpol PP hingga menjadi PNS. Pasalnya, mereka sudah mengabdi lebih dari 10 tahun menjadi aparat negara di bidang pemerintahan daerah.
Banpol Satpol PP ini akhirnya membentuk Forum Komunikasi Bantuan Polisi Satpol PP Nusantara dimana anggotanya berasal dari seluruh wilayah di Indonesia. Mereka menyatukan suara untuk menyampaikan aspirasi agar diakomodir pemerintah pusat menjadi PNS. M.Riswan, Ketua Forum tersebut mengatakan masih ada kesenjangan sosial yang terjadi di tubuh Satpol PP.
"Di pegawaiannya sendiri ada kesenjangan sosial karena ada dualisme kedudukan kepegawaian," ujar pria berusia 33 tahun ini, Jumat (6/3).
Riswan menyebutkan dualisme disini adalah ada satpol pp yang sudah menjadi pns dan non pns. Non PNS dibagi menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT), Tenaga Kerja Kontrak (TKK), Outsorcing, dan Sukarelawan.
Pembagian itu tergantung kebijakan masing-masing daerah. Saat ini satpol pp non pns membutuhkan payung hukum pemerintah pusat supaya bisa diangkat menjadi aparat negara berstatus PNS.
Aturan hukum mengenai kedudukan Satpol PP sebenarnya sudah diatur. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dimana Pasal 256 menjelaskan bahwa kedudukan satpol pp harus PNS dengan jabatan fungsional. Namun pada kenyataannya masih ada aparatur negara yang menjadi tenaga honorer pemerintah.
Pada PP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satpol PP tertuang pada Bab 6 tentang pengangkatan dan pemberhentian satpol PP. Menurut Riswan, mereka sudah memenuhi syarat menjadi satpol pp. Hanya saja belum diangkat menjadi pns seperti yang disebutkan dalam salah satu poinnya.
Mereka mengeluh beban kerja yang berat hingga resiko besar mejadi tanggung jawabnya.
Tetapi tidak mendapatkan hak seperti anggota yang telah diangkat lainnya. Tidak ada jaminan pensiun dan kesehatan untuk mereka.
"Kalau nggak ada jaminan, anak istri gimana nantinya," keluh Riswan.
Pengesahan perekrutan mereka hanya melalui SK Gubernur atau Bupati wilayah masing-masing. Tapi tidak ada yang menyebutkan bagaimana proses mereka mendapatakan haknya menjadi pegawai yang dijamin kesejahteraannya oleh pemerintah.
Mereka telah berupaya sounding ke pemerintah pusat seperti presiden, Kemendagri, Kemenpan, dan Komisi II DPR RI, MPR, dan 10 Fraksi partai.
Upaya ini dengan mengirimkan surat dan proposal tertanggal sejak 25 Januari 2015. Isinya yaitu meminta dasar hukum bagi satpol pp. Hanya saja belum ada tanggapan dari pihak terkait. Mereka juga belum berhasil berdialog langsung menyampaikan aspirasi.
"Jadi jangan hanya tenaga pendidikan dan kesehatan, kami juga punya kontribusi besar di bidang penegakkan hukum daerah," kata Riswan.
Ketua Komisi II DPR RI, Rambe Kamarul Zaman yang dikonfirmasi oleh Republika, Minggu (8/3) ,mengatakan akan membereskan persoalan pengangkatan satpol pp di tahun 2015 ini. Ia mengaku anggota komisi II sudah membicarakan terkait hal ini dengan Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara (Kemenpan). Mereka sepakat akan menyelesaikan di tahun 2015 dengan cara pengelompokan.
Pengelompokan yang dimaksud Rambe adalah satpol pp non pns tersebut akan diklasifikasikan sesuai umurnya. Jika umurnya masih sangat muda tapi sudah memenuhi syarat diangkat menjadi PNS, maka belum kita angkat.
Rambe mengatakan akan memprioritaskan yang umurnya sudah melebihi batas misalnya, 35 tahun maka akan diangkat.
"Kalau semua jadi PNS itu duit negara dari mana," ujar Politisi Fraksi Partai Golkar itu.
Ia berharap semua satpol pp bisa diangkat menjadi pns tapi tetap dibentuk dengan klasifikasi yang tadi disebutkan. Namun belum bisa memastikan kapan peraturan tersebut bisa terealisasi.