REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (Fitra) meminta kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI untuk tidak mencampuradukan persoalan politik dan hukum, dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
"Bahwa hak angket dan kemudian penegakan hukum itu, akhirnya menjadi satu rangkaian yang menyandera pembahasan APBD. Ini kan mesti dipisahkan. Keinginan kita, kedua belah pihak mengedepankan kepentingan masyarakat. Dampaknya, saat ini pencairan anggaran untuk pembangunan Jakarta kian tersendat," ujar di Jakarta, Sabtu (7/3).
Seperti diketahui, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebelumnya melaporkan mata anggaran yang memuat dana hingga Rp 12,1 triliun ke KPK. Ahok menuding, dana yang disebutnya dana siluman itu sebagai hasil kongkalikong DPRD.
Di pihak lain, DPRD pun tak terima sehingga muncul hak angket yang antara lain menilai Ahok secara sepihak telah mementahkan hasil pembahasan bersama terkait RAPBD 2015.
Dalam pandangan Yenny, munculnya mata anggaran senilai Rp 12,1 triliun ini menunjukkan tidak efektifnya proses budgeting di DKI Jakarta. Untuk menyelesaikannya, kata Yenny, penting bagi kedua belah pihak untuk duduk bersama lagi dan mengesampingkan urusan penegakan hukum dan hak angket.
Sehingga pembahasan APBD bisa segera dilakukan. Ini, ujar Yenny, dengan sebelumnya kedua belah pihak tidak mencampurkan urusan hak angket dan penegakan hukum dengan pembahasan APBD.
"Yang penting, bagaimana menyelesaikan persoalan APBD. Sehingga diharapkan kemarin (Kamis, 5/3) mediasi Kemendagri itu titik terakhir. Tapi ternyata itu jadi komunikasi politik yang tidak bagus," katanya.