Sabtu 07 Mar 2015 14:39 WIB

Pengamat: Kisruh RAPBD DKI dampak dari Demokrasi Transaksional

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi bersama Gubernur Ahok.
Foto: Antara
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi bersama Gubernur Ahok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik, Ichsanudin Noorsy menilai kisruh antara DPRD DKI dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015, merupakan dampak dari demokrasi transaksional.

"Angka yang muncul dari kisruh APBD DKI adalah dampak dari demokrasi transaksional, atau tidak ada demokrasi di Indonesia ini yang tidak memerlukan biaya dalam pelaksanaannya," katanyanya, Sabtu (7/3).

Ia menilai sistem politik di Indonesia yang berasaskan demokrasi membuat banyak langkah atau pembentukan kebijakan yang memerlukan biaya pada pelaksanaannya masing-masing.

"Iya pasti, setiap pemimpin yang membuat program untuk dekat dengan rakyat akan memerlukan biaya besar yang belum tentu ada bentuk nyatanya saat ia menjabat," katanya.

Ichsanudin menjelaskan pendapatnya tidak untuk ditujukan kepada pihak atau golongan tertentu, komentarnya hanya mencoba mengkritisi proses para pelaku yang menjunjung tinggi demokrasi pasti mudah terkait dengan penggunaan biaya.

"Kalau hal tersebut dikatakan korupsi, biarlah proses hukum yang memutuskannya, dan siapa yang korupsi itu saya serahkan pada hasil penyidikan saja," ujarnya.

Ia berpendapat membengkaknya APBD 2015 adalah dampak dari permasalahan yang menumpuk sejak lama, namun baru dipermasalahkan pada periode saat ini.

"Saya rasa nominal Rp12,1 triliun tersebut adalah akumulasi dari permasalahan politik yang ada pada saat ini," ucapnya.

Selain itu, ia juga menilai Bisa saja isu APBD 2015 ini hanyalah pengalihan isu yang sebenarnya ada pihak terkait mencari keuntungan di balik kekisruhan ini.

"KPK-Polri, KIH-KMP serta DPRD-Gubernur DKI bisa saja hanya isu pengalihan yang sebenarnya ada transaksi di belakang ini sedang mencari celah dalam menentukan kebijakan untuk kepentingan golongan tertentu yang merugikan negara," jelasnya.

Ia mencontohkan kisruh KPK-Polri berhasil menutupi isu tentang perpanjangan PT Freeport yang sebenarnya kebijakan tersebut merugikan negara. Ichsanuddin berharap masyarakat dan media peka dalam memilah-milah isu serta tetap kritis untuk mencari permasalahan lain yang mungkin dampaknya lebih besar dalam merugikan negara.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement