REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi difabel Indonesia menolak eksekusi hukuman mati terhadap terpidana mati, Rodrigo Gularto. Langkah penolakan ini diambil sebab Rodrigo adalah seorang difabel mental.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Yeni Rosa Damayanti menilai aparat penegak hukum Indonesia telah salah menjatuhkan hukuman mati terhadap Rodrigo. Hal ini menurut Yeni sudah melanggar hak asasi difabel yang termaktub dalam konvensi hak penyandang disabilitas.
Padahal Indonesia sendiri sudah meratifikasi konvensi tersebut dalam UU No.19 Tahun 2011 tentang penyandang disabilitas. Selain itu, menurut Yeni dalam pasal 44 KUHP juga disebutkan bahwa orang yang berada dalam kondisi kelainan jiwa tidak cakap di mata hukum.
"Indonesia telah melanggar hukum dan rasa keadilan manusi," ujar Yeni saat menggelar konfersipers di kantor Komnas HAM, Kamis (5/3).
Dua kesalahan peradilan Indonesia adalah tidak memeriksa kondisi psikatri Rodrigo saat melakukan pemeriksaan. Kedua, pihak keluarga Rodrigo sesungguhnya sudah melayangkan surat keterangan dan catatan medis kepada pemerintah Indonesia terkait kondisi psikologis Rodrigo.
Sayangnya, hal tersebut tidak pernah diungkap dalam persidangan dan tidak dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim ketika memutus kasus Rodrigo. Yeni mendesak pemerintah Indonesia mengkaji ulang terkait putusan terhadap Rodrigo ini.
Apa yang terjadi terhadap Rodrigo merupakan kesalahan fatal dalam peradilan, sebab majelis hakim mengesampingkan catatan medis Rodrigo. Dalam UU 18 Tahun 2004 tentang kesehatan jiwa disebutkan kepentingan penegakan hukum seseorang yang diduga memiliki ganguan jiwa harus mendapatkan pemeriksaan kejiawaan.
"Jokowi harus konsekuen dengan segala janjinya di awal kampanye dulu, sampai saat ini masih banyak kasus peminggiran difabel di mata hukum," ujar Yeni.