Jumat 20 Feb 2015 03:00 WIB

Swasta tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Sumber Daya Air

Rep: Ratna Puspita/ Red: Julkifli Marbun
Air minum
Foto: pixabay
Air minum

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Swasta tidak boleh lagi menguasai pengelolaan sumber daya air. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA).

"Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam amar putusan yang dibacakan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu (18/2). MK mengabulkan permohonan sepuluh pemohon untuk seluruhnya.

Seperti dilansir laman resmi MK, Wakil Ketua MK Anwar Usman menyatakan sumber daya air sebagai bagian dari hak azasi. Sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

MK mencontohkan, air dapat digunakan  untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan keperluan industri. "Yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak," kata Anwar.

Anwar menjelaskan, pelaksanaan UU SDA harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air. Hak penguasaan negara atas air itu ada kalau negara melalui kebijakannya masih memegang kendali dalam melaksanakan berbagai tindakan.

Tindakan itu, Anwar menguraikan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA.

Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Keenam prinsip dasar tersebut, di antaranya pengguna sumber daya air dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Untuk pertanian rakyat, tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air. "Sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air," ujar Anwar.

MK juga menyatakan konsep hak dalam hak guna air juga harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum. Hak guna air juga harus sejalan dengan konsep res commune yang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi.

Selain itu, konsep hak guna pakai air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Karena itu, hak guna usaha air harus melalui permohonan izin kepada pemerintah.

Namun, MK menyatakan, penerbitan izin tersebut harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. "Hak guna usaha air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa," ujar Anwar.

Kendati demikian, hak guna usaha air selama ini justru menjadi izin bagi perusahaan atau perseorangan untuk menguasai sumber air seperti sungai, danau, atau rawa. Hakim konstitusi Aswanto menyatakan, hak guna usaha air merupakan instrumen dalam perizinan yang digunakan pemerintah.

Hak guna itu telah membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak. Dalam konteks ini, Aswanto menyatakan, izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan.

Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air. "Swasta hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat," kata Aswanto.

MK juga mempertimbangkan prinsip penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan. Prinsip tersebut seharusnya menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi.

Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan pehitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air.

“Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air,” ujar Aswanto.

Prinsip kelima, terkait hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya air diakui, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup melalui peraturan daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif. "Melainkan bersifat deklaratif," ujar Aswanto.

Terakhir, lanjut Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi.

Kebutuhan dimaksud, antara lain, kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika serta kebutuhan lain.

“Berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh negara atas air adalah ‘ruh’ atau ‘jantung’ dari Undang-Undang SDA sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945,” ujar dia.

Dalam pendapat Mahkamah, putusan terkait UU SDA juga telah dipertimbangkan dalam putusan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Dua putusan tersebut terkait dengan UU Sumber Daya Air.

Dalam pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam dua putusan tersebut. Penyelewengan norma tersebut  berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat.

Sejak terbitnya PP No 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM), semakin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Padahal, UU SDA menegaskan, pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah.

Sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak Guna Pakai Air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan.

 

Perkara ini diajukan oleh sebelas pemohon. MK mengabulkan permohonan sepuluh pemohon, yaitu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Al Jami'yatul Washliyah, Perkumpulan Vanaprastha, Amidhan, Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, M Hatta Taliwang, Rachmawati Soekarnoputri, dan Fahmi Idris.

Sedangkan permohonan dari pemohon ketiga, yaitu Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK) di Gajah Mada, tidak diterima. Karena Sojupek tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing mengajukan perkara ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement