REPUBLIKA.CO.ID, TIMIKA -- Para petani di Kabupaten Mimika Papua menilai wacana penghapusan kebijakan subsidi pupuk sangat tidak realistis pada saat pemerintah berupaya meningkatkan produksi pangan dalam negeri.
Ketua KSU Sari Rasa Timika Haji Bahroni, di Timika, Rabu (11/2), mengatakan kebijakan subsidi pupuk masih sangat dibutuhkan oleh para petani, mengingat harga pupuk nonsubsidi terlalu mahal, sedangkan harga produk pertanian tidak pernah beranjak naik.
"Sekarang saja kalau pupuk bersubsidi tersedia maka pupuk nonsubsidi tidak ada yang laku. Ini artinya petani sangat mengandalkan pupuk subsidi dari pemerintah. Apalagi selisih harga pupuk subsidi dan nonsubsidi sangat jauh," kata Bahroni.
Ia mencontohkan, harga pupuk subsidi jenis NPK Pelangi kini dijual Rp 2.300/kg, sedangkan harga pupuk nonsubsidi jenis itu sudah mencapai Rp 7.000/kg.
Sebagai distributor resmi pupuk subsidi dari PT Petro Kimia Gresik dan PT Pupuk Kaltim di Mimika, KSU Sari Rasa selalu menyampaikan kepada para petani bahwa pasokan pupuk subsidi setiap tahun selalu terbatas.
Karena itu, para petani diminta untuk membeli pupuk nonsubsidi jika menghendaki hasil usaha pertanian mereka meningkat. "Kami selalu menawarkan seperti itu. Kalau memang ada petani yang mau beli pupuk nonsubsidi, kami siap pasok ke Timika. Tapi tidak ada yang mendaftar," ujarnya pula.
Mengingat kondisi seperti itu, Bahroni berharap pemerintah tidak serta merta menghapus kebijakan subsidi pupuk sebagaimana yang diwacanakan akhir-akhir ini.
Tahun ini kebutuhan pupuk bersubsidi di Mimika mencapai sekitar 19 ribu ton untuk enam jenis pupuk, yaitu urea, SP-36, ponska, ZA, petroganik dan NPK Pelangi.
Jumlah tersebut sesuai dengan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) petani yang telah mendapat persetujuan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan setempat.
Meski kebutuhan pupuk bersubsidi terus meningkat setiap tahun seiring dengan bertambah jumlah petani, namun realisasi penyaluran pupuk bersubsidi dari pemerintah yang ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian dan kemudian ditindaklanjuti dengan SK Gubernur Papua tidak sesuai dengan kebutuhan riil para petani di wilayah itu.