REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai rencana DPR meniadakan uji publik dalam tahapan pilkada melanggengkan seleksi pasangan calon secara oligarki. Partai politik yang menolak uji publik menurutnya ingin calon kepala daerah ditentukan sekelompok kecil atau elit partai saja.
"Kalau uji publik ditolak, maka parpol yang menolak itu ingin melanggengkan seleksi pasangan calon dalam pilkada secara oligarki," kata Syamsuddin dalam diskusi di kantor KPU, Jakarta, Jumat (23/1).
Memang, lanjutnya, tahapan uji publik dalam Perppu 1/2014 yang telah ditetapkan menjadi UU cukup panjang. Namun menurutnya tahapan itu bisa diperpendek. Bukan dihapuskan.
Syamsuddin mengatakan, uji publik merupakan tahapan signifikan dalam mencari kepala daerah yang memiliki kompetensi dan kapasitas. Jika uji publik dikembalikan ke parpol sebagaimana diusulkan DPR, menurutnya tahapan tersebut tidak bisa lagi disebut sebagai uji publik.
Tanpa uji publik, menurutnya pencalonan orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dalam memimpin daerah tersebut. Misalnya kebiasaan parpol mencalonkan tokoh-tokoh populer tetapi kompetensinya kurang.
"Kita tau dulu Jupe mau jadi Bupati Pacitan. Kita kan mau yang maju di pilkada itu yang layak, yang punya wawasan tentang daerah yang akan dia pimpin," ungkapnya.
Syamsuddin mengusulkan, KPU bisa menguatkan desain uji publik melalui Peraturan KPU. Dalam PKPU bisa diatur bagaimana supaya uji publik tidak hanya sekedar seremonial dan basa-basi belaka.