Kamis 22 Jan 2015 11:49 WIB

Masjid Al-Jabbar ITB Seimbangkan Spiritual dan Intelektual

Rep: mj02/ Red: Agus Yulianto
Masjid Al Jabbar di Kampus ITB di Jatinangor
Foto: mj02
Masjid Al Jabbar di Kampus ITB di Jatinangor

REPUBLIKA.CO.ID Seorang guru dikatakan sukses apabila muridnya dapat memahami apa yang diajarkannya. Penulis, akan senang apabila tulisannya dibaca dan bermanfaat bagi banyak orang. Begitupun dengan seorang arsitek, ada rasa bahagia ketika bangunan yang dia desain telah berdiri kokoh.

Itulah yang dirasakan Fajar Ikhwan Harnomo, arsitektur Masjid ITB Jatinangor yang Senin (19/1) lalu diresmikan. Ia memenangkan sayembara desain masjid ITB setelah bersaing dengan ratusan peserta lainnya pada akhir 2012 lalu.

Menurut Fajar, desain masjid ITB Jatinangor yang dinamakan Al-Jabbar ini, dibuat dengan sederhana. Dia tidak ingin masjid ini terlalu banyak ornamen, tapi lebih ingin menonjolkan filosofis Islam dari masjid itu sendiri.

Seperti dalam pemilihan warna. Fajar juga memilih warna lebih gelap agar orang butuh tempat yang hening untuk merenung. Menurutnya, jika didesain dengan banyak ornamen warna-warna mencolok, maka hal itu akan mengurangi kualitas aktivitas di dalamnya.

Selain itu, tekstur material yang digunakan semuanya tidak mewah. Dengan begitu, Fajar berharap, siapapun yang datang ke masjid itu rasa keimanannya bertambah.

Dalam mendesain ini pun, dia melihat pada Masjid Salman yang telah dulu ada. Bagi mahasiswa ITB, untuk bangunan peribadatan Muslim, maka jiwanya memang ada di Salman. “Antara ITB dan Salman tidak bisa dipisahkan. Keduanya, satu kesatuan dan saling bersinergi,” kata Fajar saat ditemui Republika di ITB, Rabu (21/1)

Akan tidak mudah mahasiswa ITB beradaptasi dari Salman ke Jatinangor. Untuk itulah, desain masjid ini dibuat seperti Salman. Sesuai dengan tagline awal, kata Fajar, masjid ini seolah-olah menjadi salman kedua. Tujuannya, agar suasana Salman ada juga di Jatinangor. “Tetapi tetap tidak akan bisa menandingi Salman sekarang,” ujarnya.

Sekilas memang terlihat seperti tidak didesain. Akan tetapi, menurutnya, dalam mendesain masjid bukan memperlihatkan siapa  yang mendesain atau apa yang kita mau, tapi yang terpenting harus jelas fungsi dan maknanya masjid itu sendiri.

Lokasi masjid yang berada di sekitar pusat kegiatan aktivitas masyarakat, dekat dengan kampus ini, membuat Fajar mengusung konsep baru. Yaitu ingin memperlihatkan masjid yang ‘eksklusif’. Maksudnya, terpisahkan antara yang sifatnya habluminnanas dan habluminallah. “Dibuat Lebih menonjol ke atas. Masjid bukan sebagai pembatas antara orang yang mau mengenal agama lebih dalam dengan yang tidak,” katanya.

Dengan konsep yang sederhana ini, Fajar ingin menghadirkan simbol masjid sebagai munculnya rasa ketundukkan, kesederhanaan, dan betapa rendahnya kita di mata Allah SWT. Menurutnya, kurang pas apabila terlalu bermewah-mewahan dalam beribadah.

Uktuk memperlihatkan sesuatu yang menonjol dan menarik perhatian orang, tidak perlu dengan banyak hal yang sifatnya mewah. “Apakah dengan megah tercapai maknanya? Justru dari kesederhanaan ini maknanya keluar,” ujar lulusan Itenas ini.

Hasil pembangunan Masjid Jatinangor ini tidak sepenuhnya sesuai dengan desain awal yang ia buat. Perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan budget dan lokasi. Selain itu, masjid ini juga kerja sama antara Pemprov Jabar dan ITB. Jadi, harus ada keseimbangan antara keduanya.

Untuk desain, kata Fajar, 50 persen berubah dari desain awal. Banyak penyesuaian. Dari segi filosofi ada beberapa yang berubah. Seperti tiang di pintu masuk pada awalnya didesain ada lima sebagai tanda shalat bagian dari rukun Islam. Tetapi selanjutnya tidak dipergunakan. “Mungkin ada pertimbangan lain,” katanya.

Meskipun berubah, dia berharap, tujuan dan cita-citanya sebagai perancang tercapai. “Yaitu apabila masjid ini digunakan sesuai dengan fungsi dan kegunaannya. Seperti kata gubernur saat peresmian kemarin,  bisa menjadi simbol penyebaran syiar Islam di Jatinangor. Mudah-mudahan terwujud," katanya.

Kegiatan Masjid

Setelah diresmikan, belum ada kegiatan di Masjid Al Jabbar selain shalat lima waktu. Ketika dikonfirmasi ke Pengelola Masjid Salman Fathul Umam mengatakan, sampai saat ini, belum dibentuk pengelola dan kepengurusan Masjid Al Jabbar. Sehingga belum ada gambaran rencana kegiatan masjid.

Begitu juga yang dikatakan Kasyiru, salah satu mahasiswa yang hendak menunaikan ibadah di masjid itu. Dia mengatakan, karena masih baru, maka masjidnya masih sepi.

Sedangkan untuk desainnya, dia mengapresiasi Masjid Al Jabbar tersebut. “Keren. Bagus desainnya,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan berharap Masjid Al-Jabbar yang dibangun di kampus ITB Jatinangor, Kabupaten Sumedang, dapat menghadirkan keseimbangan antara spiritual dan intelektual. “Rumah ibadah atau masjid seperti ini, penting untuk menjadi bagian dari pendidikan tak terpisahkan,” katanya.

Karena itu, gubernur pun meminta, hal itu jangan dipandang sebagai urusan sekunder,  dipandang nomor dua. “Tapi ini adalah bagian terintegrasi yang tidak terpisahkan dari sebuah kampus,” kata Heryawan. Dia menambahkan, jika ingin membangun generasi muda yang seimbang sikap spiritualnya dan sikap intelektual salah satunya bisa dipengaruhi oleh keberadaan masjid.

Nama Masjid Al Jabbar ITB Jatinangor diberikan Heryawan dan berdiri di atas lahan 5.000 meter persegi dengan luas bangunan 1.400 meter persegi. Masjid ini mampu menampung 700 jamaah. Dalam pembangunannya, masjid ini terdiri dalam dua tahapan dan dimulai sejak tahun 2013-2014 dan menelan biaya sekitar Rp 10,5 miliar.

Sementara Rektor ITB Akhmaloka mengatakan, keberadaan Masjid Al-Jabbar tersebut selain sebagai pusat aktivitas ibadah juga bisa mendatangkan kebaikan bagi masyarakat sekitar bahkan dunia. “Mudah-mudahan masjid ini bisa menjadi pusat aktivitas ibadah bagi ITB dan masyarakat, serta menjadi kebaikan bagi masyarakat jatinangor, bahkan dunia karena terdap,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement