REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Keputusan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten Rano Karno melantik dua pejabat tinggi di lingkup Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten, mendapat kecaman dari anggota DPRD Banten. Rano Karno dianggap melestarikan tradisi yang dijalankan pendahulunya, Ratu Atut Chosiyah yang terjerat kasus korupsi di KPK.
"Saya kira secara moralitas harus dikedepankan. Moralitas yang harus dibangun, harusnya mengundurkan diri. Bangsa kita ini patriotisme nya salah. Patriotnya kuat menahan malu. Harusnya kan mengundurkan diri," kata Ketua Komisi I DPRD Banten, Sofwan Haris, diruangannya (21/1).
Sofwan mempertanyakan mengapa Rano Karno yang menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten, maupun Sekretaris Daerah (Sekda) Banten Kurdi Matin malah memberikan jabatan tinggi kepada tersangka korupsi. Karena, persoalan etika kepantasan seorang pejabat mengemban amanah menjadi titik krusial yang harus dibenahi Pemprov guna mengembalikan kepercayaan publik.
Ia menganggap bahwa budaya permisif bagi pelaku korupsi masih melekat kuat di pejabat negara ini. Bahkan di pemerintahan pusat pun, baik Eksekutif maupun Legislatif sepertinya membiarkan tersangka rekening gendut Polri menjadi Kapolri.
"Di tingkat nasional kan ada juga (Calon Kapolri) yang diloloskan oleh DPR dan dibawah, pemerintahan kita latah juga (mengangkat pejabat tersandung korupsi)," tegasnya.
Hal senada pun disampaikan oleh pengamat politik dari tanah jawara. Dirinya menyayangkan dilantiknya tersangka korupsi menjadi pekabat tinggi di lingkup Pemprov Banten. Hal tersebut akan membuat kepercayaan publik terhadap pemerintahan akan semakin hilang.
"Buat saya, sebagai kepala daerah, dia punya hak untuk melakukan rotasi. Pejabat di posisi tersebut pun akan menjadi pertanyaan publik. Akhirnya timbul kesan bahwa Rano Karno memiliki keragu-raguan dalam berpolitik," kata pengamat politik dari Universitas Serang Raya (Unsera) Banten, Abdul Malik.
Menurutnya Rano harus bisa menjawab keinginan publik guna melakukan pembersihan di jajaran Pemprov Banten. Bahkan, dengan melakukan rotasi pejabat sebanyak tiga kali pun mengesankan Rano tak bisa melakukan perbaikan apapun pada jajaran dibawahnya. Karena, harus ada aspek kepatutan dan kepantasan seorang individu menempati posisinya. Karena masyarakat Banten menuntut pemerintahan yang bersih.
"Sebagai Plt, dia memiliki kewenangan dalam jabatannya. Jangan-jangan itu bentuk apologis dia dalam ketidak mampuan menata pemerintahan Banten," terangnya.
Pria yang menjabat sebagai Dekan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsera ini mengingatkan Rano Karno bahwa orang yang sudah menyandang status tersangka korupsi, berarti sang pejabat sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Sehingga, akan mengakibatkan kepemimpinan Rano di mata masyarakat tak memiliki daya dukung yang kuat.
"Publik jangan di bohongi oleh pakta integritas. Rano Karno malah tidak menjalankan pakta integritas itu. Maka, jangan salahkan masyarakat mempertanyakan keteguhan Rano (memberantas korupsi). Rano yang menyatakan pakta integritas, tapi malah dia yg melanggarnya," tegasnya.
Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, mantan Kepala Dinas Bina Marga dan Tata Ruang (DBTMR) Provinsi Banten Sutadi, yang ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Jembatan Kedaung, Kota Tangerang, senilai Rp 23,42 miliar dan Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman (SDAP), Iing Suargi, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus normalisasi muara pantai Karangantu, Kota Serang senilai Rp 4,8 miliar masih bertahan dalam formasi pemerintahan Provinsi Banten.
Sutadi dilantik menjadi sebagai Staf Ahli Gubernur Bidang Pembangunan. Sementara Iing Suwargi kini menempati posisi Asda II di lingkungan Pemprov Banten.